Kasus Mantan Ketua PSSI, La Nyalla Mattalitti yang tidak masuk dalam bursa pencalonan Cagub Jatim menarik untuk disimak. Sebagaimana kita ketahui dari berbagai media cetak dan elektronik batalnya La Nyalla Mattalitti yang sebenarnya kader internal Partai Gerindra untuk maju sebagai Cagub Jawa Timur tersebut terkait besarnya mahar politik yang yang harus dibayar.
Kendatipun kemudian sejumlah politisi Partai Gerindra mengklarifikasi itu bukan sebahai "mahar" tetapi uang saksi dan biaya operasional persiapan pelaksanaan pemilu.
Sebagai pengamat yang berada di luar arena saya tidak terlalu jauh mengulas masalah ini karena persoalan internal partai. Tetapi saya perlu memberikan apresiasi kepada Abang La Nyalla Mattalitti yang dengan jiwa ksatria membeberkan persoalan ini publik. Sebagai anak bangsa yang cinta demokrasi. Cinta NKRI. Cinta keadilan dan cinta akan rakyat saya patut mengacungkan jempol kepada Bang La Nyalla Mattalitti.
Fenomena mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politic bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon kepala daerah baik kader internal parpol maupun non kader yang potensial harus membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan tumpangan "perahu" dalam tahapan pemilukada.
Bukan saja dalam hal pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, pada pemilihan legislatif pun hal serupa sering terjadi. Tak sedikit calon legislatif kita harus menjual harta benda dan merogoh kocek demi nomor urut teratas. Yah inilah wajah politik kita. Politik busuk. Politik yang diwarnai dengan uang.
Undang-Undang Parpol yang memberikan kewenangan kepada parpol untuk merekrut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta calon anggota legislatif seakan melegitimasi "politik uang" atau "mahar politik" itu.
Karena itu kualitas calon pemimpin kita pun hanya bisa ditakar secara materi. Karena itu "mahar politik" ini telah menjadi penyakit akut yang merusak ziarah/perjalanan tatanan demokrasi bangsa. Memang ada bahasa diplomasi bahwa itu tak pernah ada, tapi realitanya itu terjadi. Itulah diplomasi politik.
Artinya bahwa hanya orang berduit yang memiliki peluang dalam memimpin negeri ini. Kendatipun ada peluang pencalonan non partai tetapi persyarakatan tak sedikit. Akhirnya kita abaikan aspek-aspek keutamaan yang harus dimiliki seorang pemimpin atau pun calon pemimpin dalam bursa pencalonan.
Tradisi Yunani kuno menyebut keutamaan sebagai arete. Artinya kualitas kecenderungan positif di dalam diri seseorang untuk berkehendak dan berbuat baik sesuai dengan keutamaan itu. Dalam tradisi Barat selanjutnya membedakan empat keutamaan pokok, yakni kearifan, pengendalian diri, keadilan, dan keberanian.
Keutamaan-keutamaan inilah yang memampukan seseorang melaksanakan tugasnya dengan baik atau berkompetensi maupun beramanah atau berintegritas.
Kompetensi tanpa integritas itu berujung korupsi. Integritas tanpa kompetensi membuat pemimpin mudah diakali bawahan. Kekuasaan diembannya sebagai jalan melipatgandakan kebajikan publik.