Akhir-akhir ini kita sering dihadapkan dengan berbagai bahaya banjir, tanah longsor, meluapnya sungai-sungai/kali baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Akibatnya banyak kerugian yang timbul. Itulah kondisi dunia ketika datangnya musim hujan sebagaimana yang dialami sebagian wilayah di Indonesia saat ini.
Beda lagi jika musim kemarau datang. Sumber-sumber mata air menjadi kering. Areal-areal persawahan penduduk menjadi kering kerontang. Tak hasil dan ada panenan. Para petani dan pekerja kebun mengeluh kekurangan pangan. Bahkan ada yang jatuh miskin.
Di beberapa wilayah hewan-heman piara atau ternak menjadi korban. Bahkan ada beberapa ekosistem penting disekitar kehidupan kita menjadi rusak dan hancur.
Itulah kekuatan air dalam kehidupan kita. Air tidak saja menjadi sumber berkat tetapi juga mendatang bencana dan bahaya yang luar biasa jika sumber daya air ini tidak dikelola dengan bijak.
Sejumlah pakar baik dibidang ekologi maupun di bidang ilmu alam selalu mengajak kita untuk menata dan mengelola sumber daya air ini dengan baik. Ajakan untuk melakukan reboisasi atau menanam kembali daerah-daerah yang gundul merupakan salah satu cara untuk menata dan mengelola sumber daya air dengan baik. Dilarang menebang pohon pada sumber-sumber mata air atau kawasan hutan juga bertujuan agar air selalu tersedia bagi kehidupan kita.
Karena apa? Air begitu penting bagi kelangsungan hidup manusia. Tapi kadang air juga bisa mendatang bencana jika kita mengabaikannya.
Melihat kenyataan-kenyataan seperti ini mungkin baik kita belajar dari cara pandang Thales. Thales merupakan filsuf Yunani kuno yang hidup antara 625-545 SM . Aristoteles menjuluknya sebagai Bapak Filfasat karena Thales merupakan filsuf pertama yang mulai berpikir secara rasional untuk menentang mitos-mitos dan dogeng yang berkembang di kala itu terkait asal-muasal segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Untuk mencari hakikat asal mula dari alam semesta ini, Thales memang melepaskan diri dari ikatan takhayun dan mitos-mitos atau kepercayaan umum di waktu itu. Berdasarkan pengalamannya, baik bagi orang pesisir, sebagai saudagar yang suka berlayar di lautan, maupun pengalamannya menyaksikan kehidupan penduduk Mesir yang hidupnya bergantung kepada sungai Nil, maka semuanya dijadikan landasan berpikir untuk mencari jawaban mengenai asal mula kejadian alam ini, yakni "semuanya berasal dari air".
Ini merupakan salah satu pokok pikiran ajaran Thales. Thales benar-benar mendewakan air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar dari segala-galanya. Segala sesuatu berasal dari air dan kembali menjadi air.
Sebagai dasar pemikirannya, Thales memberikan argument yang rasional, bahwa tumbuh-tumbuhan, binatang, lahir di tempat yang lembab, bakteri-bakteri hidup dan berkembang di tempat yang lembab, bakteri makan sesuatu yang lembab dan kelembaban bersumber dari air. Dari air itu terjadilah tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan tanah pun mengandung air.
Perkataan Thales tersebut memberikan pemikiran yang lebih mendalam lagi, yaitu bahwa "semuanya adalah satu". Pikiran ini adalah pemikiran radikal dan masih baru pada zaman itu, sehingga untuk diterima oleh masyarakat sekitarnya juga agak susah.