Lihat ke Halaman Asli

Hidup untuk Like: Dampak Pencitraan di Media Sosial bagi Kesehatan Mental Remaja

Diperbarui: 29 Oktober 2024   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Narasi TV

Teknologi masa kini berkembang sangat pesat, khususnya internet atau disebut juga social networking. Internet mampu menghilangkan jarak, ruang, dan waktu sehingga kita mampu berinteraksi dengan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Salah satu contoh dari perkembangan teknologi adalah Media Sosial. Media Sosial merupakan platform digital yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi, berbagi, dan melakukan aktivitas sosial secara daring. Pengguna media sosial terbanyak adalah remaja terutama Gen Z.

Saat ini media sosial sangat menarik perhatian, media sosial mengajak siapapun untuk berpartisipasi dalam memberikan feedback, komentar serta informasi secara tidak terbatas. Khususnya para remaja, media sosial menjadi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Perkembangan media sosial seperti facebook, instragram, twitter, tiktok dan yang lainnya membuat para penggunanya seolah dapat menghilangkan ruang dan waktu. Penggunanya juga dengan mudah dan cepat dapat membentuk jaringan dan kontak. Tahap remaja merupakan fase pencarian identitas diri yang memerlukan pengawasan serta dukungan dari orang tua, keluarga, lingkungan, maupun teman sebaya. Di masa ini remaja juga berada pada situasi yang dilema karena tentunya mereka ingin mecoba hal-hal baru dan aktif di media sosial. Rasa penasaran inilah yang kemudian membentuk sifat ketergantungan dan kecanduan terhadap media sosial.

Seperti yang kita ketahui, media sosial merupakan sarana untuk saling berbagi informasi ataupun hanya sekedar memberikan life update. Untuk beberapa kalangan terutama kaum milenial dan Gen Z media sosial seperti Instagram, Tiktok, dan Twitter merupakan aplikasi yang sudah pasti digunakan sehari-hari. Media sosial dianggap krusial dan berpengaruh terhadap image bagi beberapa orang. Dari media sosial, kita mampu membangun personal branding sehingga orang lain bisa menilai kita dari akun media sosial yang dimiliki. Namun, beberapa orang terlalu ambisius dalam membangun image pada media sosial tersebut. Tidak sedikit orang yang haus akan validasi dan publisitas di media sosial. Mereka sangat mengutamakan gaya hidup dan citra yang terpublikasi secara nyata pada platform tertentu.

Gaya hidup mewah dijadikan suatu kebanggaan dan hal yang harus terpublikasi dan diketahui oleh banyak orang. Hal ini memberikan pressure bagi oknum tertentu yang sangat mengutamakan branding media sosial daripada kehidupan nyata. Tekanan ini membuat seseorang akan selalu merasa harus up to date dan terlihat hedon akibat tuntutan media sosial yang didapatkan dari gaya hidupnya. Seseorang akan selalu berusaha mengejar trend-trend terkini yang sebenarnya belum tentu mampu mereka jangkau. Selain mengejar trend terkini, banyak juga orang yang mengejar popularitas dari media sosial. Mereka menganggap bahwa popularitas tersebut sangat berdampak dan merupakan sesuatu yang harus terus ditingkatkan. Contohnya adalah selebgram yang mengejar popularitas dari like dan komentar-komentar netizen yang akhirnya berhasil membuat orang tersebut dikenal masyarakat luas. 

Kecanduan bermedia sosial juga dapat datang dari komentar-komentar yang diberikan pada suatu postingan. Komentar tersebut memancing kita untuk terus menanggapi dan pada akhirnya ketagihan untuk membalas komentar-komentar tersebut. Studi yang dialakukan oleh Swansea University di Wales ditemukan beberapa orang yang mengalami gejala penarikan (withdrawal) jika berhenti menggunakan media sosial. Gejala yang itampilkan remaja yang memiliki karakteristik compulsive use yaitu, selalu berupaya memenuhi kebutuhan dirinya dengan mengakses media sosial sehingga membuat remaja terpaku pada media sosial, lebih banyak berkomunikasi secara online daripada bertatap muka langsung.

Dampak dari tekanan yang diberikan oleh media sosial adalah terkena penyakit mental. Adanya “kewajiban” untuk selalu update media sosial, membalas komentar, mengejar popularitas tentunya akan menambah beban pikiran dan menjadi tekanan pada diri. Hal itu tentu akan berdampak pada kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan OCD karena adanya ketidakmampuan mengontrol perilaku berulang untuk mengakses media sosial dan seterusnya. Hal tersebut sangat mengerikan bukan? Bayangkan saja hanya karena media sosial kehidupan anda dapat terasa lebih berat.

Solusi kecanduan media sosial merupakan hal yang cukup kompleks dan membutuhkan pendekatan, namun beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan adalah dengan membatasi waktu penggunaan, menemukan aktivitas alternatif, dan berkonsultasi dengan pihak profesional. Selain itu penting juga untuk mengabaikan beberapa komentar publik yang menurut anda cukup mengganggu dan tidak perlu dibalas. Karena dengan anda membalas komentar tersebut nantinya pelaku akan terus mengirimkan komentar dan hal itu akan berlanjut hingga anda akan kesulitan untuk lepas dari media sosial. Selanjutnya adalah dengan berpikir bijak sebelum meng-upload postingan hanya pada momen-momen penting yang mungkin orang perlu tau. 

Dengan menerapkan solusi tersebut maka anda akan mengurangi kemungkinan untuk terkena penyakit mental yang disebabkan oleh kecanduan bermain media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline