Lihat ke Halaman Asli

Petra Kristi Mulyani

Associate Professor, Researcher, Civil Servant

"Sekolah Masa Pandemi" Akibatkan Siswa Sulit Belajar Membaca?

Diperbarui: 21 Desember 2021   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dapatkah kita mengkambing-hitamkan model sekolah di masa pandemi sebagai faktor utama dan pertama penyebab siswa sulit belajar membaca? Apakah faktor lain kemudian dikesampingkan, ataukah tetap perlu menjadi pertimbangan?

Pandemi telah menjadi momok bagi hampir sebagian besar negara di seluruh penjuru bumi karena dampaknya yang mempengaruhi segala sektor kehidupan masyarakat. Sektor ekonomi, keamanan, kesehatan, bahkan pendidikan tidak luput dari serangan pandemi. Selama pandemi, peminimalan pembelajaran tatap muka telah merubah model pembelajaran yang telah dilakukan selama beberapa dekade terakhir. 

Manajemen pengelolaan pendidikan yang selama ini diselenggarakan dengan sarana tatap muka, kemudian dipaksa melakukan loncatan untuk diselenggarakan sebaliknya. Saat sebelum pandemi, siswa dapat langsung berinteraksi dengan guru dan teman. Sekarang pembatasan dilakukan dengan berbagai cara agar kegiatan pembelajaran tetap terlaksana, namun tidak mengakibatkan resiko iringan yang membahayakan keselamatan jiwa.

Sebagian pelaku sektor pendidikan merasa bahwa pandemi memberikan dampak yang sangat nyata. Pelaksanaan pembelajaran di luar ruang kelas dengan tanpa bimbingan langsung oleh guru sering dirujuk sebagai indikator pertama dan utama atas turunnya kualitas siswa. Pandemi ini kemudian membuat kalangan pelaku sektor pendidikan merasa bahwa pendampingan langsung oleh guru saat pertemuan tatap muka adalah kunci efektifitas and efisiensi proses belajar. Interaksi langsung antara guru dan siswa maupun antar sesama siswa dianggap menjadi faktor utama yang mendukung proses berpikir dan analisa berkesinambungan oleh siswa, yang kemudian menentukan level penguasaan pengetahuan dan keterampilan.

Dampak pandemi ini kemudian dirasa semakin nyata saat sebagian pelaku pendidikan menemui penurunan kemampuan membaca siswa. Kemampuan membaca siswa dirasa sangat berbeda dibandingkan saat sebelum pandemi melanda. Minimnya kesempatan bertatap muka dengan siswa sering membuat guru merasa tak berdaya dan tidak maksimal dalam mengumpulkan data kemajuan perkembangan siswa, mengkontrol pencapaian target kemampuan membaca siswa, maupun menganalisa dan mencipta solusi sesuai dengan problema kemampuan membaca dari masing-masing siswa. Untuk itulah maka pembelajaran non tatap muka ini sering menjadi kambing hitam pertama dan utama yang menyebabkan siswa sulit belajar membaca.

Pertanyaannya adalah, apakah benar faktor pembelajaran tatap muka menjadi satu-satunya kunci keberhasilan siswa dalam belajar membaca? Apakah pandemi bisa disalahkan sebagai penyebab utama atas ketidak berhasilan siswa dalam pelajaran membaca? Berikut adalah faktor-faktor yang perlu menjadi pertimbangan sebelum menjadikan pandemi dan pembelajaran tanpa tatap muka sebagai faktor utama penyebab siswa kesulitan belajar membaca.

Walau sekitar sepuluh juta siswa mengalami kesulitan dalam belajar membaca, sekitar sembilan puluh persennya dapat mengatasi kesulitan jika mereka menerima perlakuan yang tepat semenjak usia dini (Drummond, 2021). Menganalisa pernyataan ini, pelaku sektor pendidikan perlu melakukan refleksi lebih lanjut terkait dengan perlakuan kesulitan membaca yang selama ini telah dilakukan. 

Apakah siswa telah mendapatkan bantuan mengatasi kesulitan membaca sesuai dengan kebutuhan mereka yang berbeda? Apakah bantuan tersebut telah terlaksana sejak siswa di usia dini? Apakah bantuan tersebut tepat dan dilakukan oleh ahli yang telah melakukan analisa sebelum perlakukan tindakan? Apakah proses dalam mengatasi permasalah kesulitan membaca dievaluasi sesuai dengan perkembangan masing-masing siswa? Apakah hasilnya juga dilakukan evaluasi dan refleksi tindak lanjut sesuai dengan kebutuhan individu siswa?

Peran guru tidak dapat dijadikan satu-satunya pilar dalam meningkatkan kemampuan siswa untuk membaca. Keberhasilan maupun kegagalan belajar siswa dalam membaca tidak bisa hanya ditumpukan tanggung jawabnya kepada guru. Orang tua harus berperan aktif dalam mensukseskan upaya siswa dalam meningkatkan keterampilan membaca. Artinya bahwa orang tua tidak hanya memberikan dukungan secara moral namun juga memerlukan tindakan nyata. Sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mengasah keterampilan membaca harus tersedia di rumah. 

Sumber-sumber ini tidak harus dimiliki atau dibeli. Peminjaman dari perpustakaan sekolah, kota, ataupun daerah juga memungkin bagi orang tua untuk menyediakannya bagi anak di rumah. Lingkungan rumah juga harus mendukung anak untuk mengasah keterampilan membaca. Hal-hal rutin dapat dilakukan seperti membacakan buku sebelum tidur, mengalokasikan waktu bersama untuk membaca, menghentikan semua kegiatan yang tidak terkait dengan jadwal membaca bersama di rumah, melakukan komunikasi secara terbuka dengan anak terkait dengan hambatan/perasaan/kecemasan yang mereka hadapi saat membaca, dsb.

Setiap siswa memiliki kemampuan, latar belakang, ketertarikan, dan kecepatan yang berbeda saat belajar membaca. Namun perbedaan setiap siswa tidak serta merta dibarengi dengan upaya sekolah dan pemerintah dalam memfasilitasi keberagaman mereka. Apakah ada analisa kemampuan membaca yang terlaksana di sekolah sebelum siswa melakukan hari pertama pelajarannya? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline