Lihat ke Halaman Asli

Polisi Sekarang, Polisi Samapta?

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Matahari belum terlihat, suasana masih sunyi, ayam pun sepertinya belum siap berkokok. Di suatu tempat, dengan sejumlah barak persegi panjang, ada sebuah lapangan dengan tiang bendera di titik sentral. Suasana itu bertahan hingga beberapa detik kemudian muncul seorang pria berpostur tegap, tak kekar tapi bugar, berlari dengan menenteng terompet. Dia berhenti tepat sejajar dengan tiang bendera, lalu ia pun melakukan 'ritual itu', meniup terompet keras-keras berirama membangun seluruh penghuni kompleks barak itu.

Teettttteereeeetteeeeteeeeettttt!!!

Tak berapa lama, sekeliling pria itu sudah diisi sejumlah lapis barisan pria-pria tegap lainnya. Lalu mereka pun berteriak, "SAMAPTA!"

Usai melakukan apa yang disebut apel pagi itu, seluruh pria tegap itu melakukan sejumlah 'ritual' lainnya, yaitu push up, sit up, lari berseri, halang rintang, sampai pada latihan beladiri. Semua itu konon kabarnya dilakukan setiap hari, setiap minggu, dan yang bikin pusing kepala saya, setiap waktu badan mesti digenjot supaya samapta!

"Buat apa sih samapta? Mengapa mereka bersusah-susah, berletih ria, hanya untuk samapta?", pikirku dalam hati.

* * *

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, samapta merupakan kata benda (verb) yang berarti 'siap siaga'. Bila ditambah imbuhan ke-an, menjadi kesamaptaan, berarti perihal samapta, kesiapsiagaan. Sebuah ungkapan disampaikan menjelaskan arti 'samapta', yaitu setiap prajurit harus selalu samapta biarpun negara dalam keadaan aman. Sampai di sini, saya pun akhirnya mengerti mengapa pria-pria tegap itu mesti melakukan 'ritual' melelahkan, menurut saya, setiap hari sejak pagi hingga sore menjelang. Karena memang mereka dilatih dan dipersiapkan untuk menanggapi setiap ancaman dan gangguan terhadap rasa aman dan nyaman masyarakat.

Prajurit/militer, polisi maupun pengamanan swakarsa merupakan sekelompok orang yang dipersiapkan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat. Posisi mereka sejatinya berada di depan masyarakat menyongsong ancaman dan gangguan yang datang (bukan berhadap-hadapan ya...) Nah, untuk itu mereka dipersiapkan dengan dana negara (baca: dana masyarakat) demi kesamaptaan. Samapta dalam menanggapi segala persoalan yang bikin rumit permasalahan hidup masyarakat yang sudah bermasalah.

* * *

Namun apa yang terjadi saat ini, jauh api dari panggang. Kesamaptaan yang diharapkan ternyata masih belum menjadi 'makanan' sehari-hari para anggota Polri. Suatu sore saat saya tengah dalam perjalanan keliling kota, saya mendapatkan sebuah fakta dari sekian fakta yang selama ini sadar atau tidak saya saksikan. Tentang polisi yang samapta...

Menggunakan pakaian dinas harian lengkap, jelas terpampang di lengan kanan lambang samapta, ada senjata api genggam disandang di pinggang. Dari sosok pria yang tingginya lebih rendah satu kepala dengan saya, tiada kesamaptaan itu. Mengapa? Karena sepertinya polisi itu overweight. Perutnya membuncit hingga menyesak pakaian coklat yang dikenakannya. Saat berjalan pun, pria setengah baya itu terkesan sudah kerepotan, apalagi kalau ada pencopet atau penjahat yang mengancam masyarakat. Sebuah pertanyaan besar muncul di benak saya, dimana letak kesamaptaan itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline