Lihat ke Halaman Asli

Puasa, Perspektif Seorang yang Tidak Berpuasa

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Uraian ini melihat Puasa dari perspektif praktis seorang yang tidak menjalankan Puasa. Perspektif ini tidak bersifat teologis, agamis, rohani atau apapun itu, tetapi pengamatan biasa-biasa saja.

Setiap masuk bulan Ramadhan, ada 2 hal yang selalu "mendadak" populer: 1) Penentuan Mulai Puasa, yaitu komunitas dan alim ulama dan Pemerintah bersatu, fokus pada aksi menentukan tanggal mulai Ibadah Puasa, dalam momen mana video, foto dari berbagai pihak memegang teropong melihat pertanda bulan mucul di horizon; 2) Jam Kerja yang pendek.

Penulis memberikan hasil pengamatan sebagai berikut :

1) Perubahan Nilai dan Perilaku Pada Orang-orang

Pada saat Puasa, rekan-rekan kerja, teman-teman, dan tetangga seperti "berubah". Katakanlah berubah santun, berubah sabar, berubah tenang, berubah santai. Perubahan itu juga terlihat di jalan-jalan, dimana pemotor tidak ugal-ugalan, pengendara mobil jarang membunyikan klakson, pemimpin di kantor jarang menekan bawahan. Intinya ada perubahan sikap dan nilai yang terlihat. Sepertinya tensi menjadi turun, irama kerja menurun, semuanya terlihat seperti hari yang menuju senja di alam pedesaan di pegunungan atau di pinggiran pantai. Irama hidup seolah-olah slowdown, melambat, dan hiruk pikuk suara melemah dan cenderuing tenang.

Dari situasi ini, sebagai pengamat ditengah-tengah masyarakat yang berpuasa, saya mendapatkan keuntungan gratis dan instan. Tensi di sekeliling aktivitas saya jadinya ikut-ikutan turun. Suasana kantor ikut tenang, dan kejaran target yang menekan turun drastis tinggal 25% dari biasa.

Terutama saat makan siang, nikmatnya seperti mendapat "privilege", nggak perlu berdesakan atau antri beli makanan, warung yang buka pelanggannya sedikit, ruang food court lega, bisa bebas bercengkerama tanpa takut sudah ditunggui kelompok karyawan lain yang antri meja. Ini istimewa.

Seandainya nilai dan perubahan perilaku ini bertahan sepanjang tahun, wow, Jakarta menjadi surga tempat bekerja yang nyaman.

2) Ngabuburit 1 (satu) jam yang riuh dengan kegembiraan menuju "kemenangan"

Ke mana-mana pergi, terutama di tempat publik seperti lapangan terbuka, taman kota, halaman dan taman kampus, deretan "food court jalanan" alias pusat jajanan, r7mah makan, restoran, cafe, foofdourt di mall-mall, restoran hotel, lapangan sepakbola Kelurahan, pokoknya semua pusat keramaian dipenuhi orang yang bercengkerama bersama teman-teman atau keluarga, di dalam rentang waktru 1 (satu) jam dari jam 5 s/d jam 6 sore waktu Maghrib, suasananya benar-benar lain.  Pada jam itu, jika kita naik mobil atau motor menyusuri jalanan, maka ditemukan penjual makanan ringan seperti kolak, gorengan, berbagai macam kue, minuman seger, bermunculan dengan rasio yang luar biasa, 100 meja/gerobak dagangan dibanding 2 meja/gerobag dagangan pada hari biasa. Ada ledakan permintaan dan penawaran. Ini bagus untuk ekonomi.

Akibat dari menjamurnya dagangan makanan dadakan itu, maka seperti sarang semut yang dibongkar paksa, jumlah motor (bukan mobil) mondar-mandir memenuhi jalanan berjalan tenang dan kecepatan 10 km/jam penumpangnya celingak-celinguk melihat ke arah makanan apa yang ia inginkan, lalu ia akan berhenti di pinggir jalan seenaknya. Dalam situasi itu, tidak ada bunyi klakson dari orang-orang yang tak sabar,  karena kelihatannya kesabaran semua orang pada posisi puncak, dan aura untuk marah kelihatannya telah tiada, karena aura yang ada adalah sama : kegembiraan menemukan makanan yang tepat untuk berbuka puasa. Seandainya kondisi ini terjadi sepanjang hari dalam setahun, maka lingkungan tinggal akan menjadi nyaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline