Lihat ke Halaman Asli

Andainya Taktik Ahok Diikuti Gubernur, Bupati, Walikota

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak apa-apa jika berandai-andai bukan? Karena sejatinya perkembangan kebudayaan manusia adalah akibat karunia kreasi pikir nalar bernama imajinasi. Manusia punya kesanggupan itu. Pepatah lama kata "Gantungkan cita-citamu setinggi langit". Bercita-cita, alias berandai-andai tidak bayar, asli gratis. Lalu ngapain cita-cita digantungkan rendah? Ada yang bilang "nggak realistis", tentu saja namanya juga cita-cita mana ada realistis. Justru cita-cita yang rendah yang nggak realistis.

Kembali ke "Taktik Ahok". Sesuai informasi yang kami kumpulkan dari percakapan dengan banyak orang, dan info di media, kami menyimpulkan bahwa Gubernur Ahok menerapkan suatu strategi yang unik dalam hal metode membangun kota Jakarta. Strategi yang miri (tidak sama persis) pernah diterapkan Gubernur "Bang" Ali Sadikin. Kesamaannya terletak pada usaha kreatif persuasif dengan warga ber-uang agar bagaimana cara uang mereka mengalir langsung kepada proyek buat maslahat masyarakat seperti jalan, jembatan, taman kota, dll.

Adalah Gubernur Ahok, menurut informasi tersebut, mewajibkan semua pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek di DKI, untuk memberikan kompensasi bagi kota dalam bentuk pembangunan fasilitas kota, sebagai prasyarat agar ijin proyek mereka keluar.

Misalnya, jika anda pengusaha pengembang property, estate, atau kawasan apapun, maka anda wajib menyiapkan kompensasi berupa fasilitas kota agar ijin anda keluar. Jika anda membangun mall "gede", maka anda diwajibkan membangun dan menata jalur pembuangan air di kawasan tersebut. Misalnya proyek reklamasi anda yang "super huge" maka akses kepada lokasi proyek anda, atau struktur dari proyek anda mengakibatkan perubahan dalam tata kota yang berdampak pada banjir, maka ijin anda bersyarat pada penyediaan fasilitas pompa raksasa di lokasi yang ditentukan pemerintah kota. Begitu juga ketika bangunan super tinggi pencakar langit akan menarik trafik dari berbagai arah, maka anda diwajibkan membuat fly over agar arus dari dan ke proyek anda tidak mengacaukan lalu-lintas di sekitar lokasi gedung anda. Atau anda membangun fasilitas apartemen dan/atau office di sudut sebuah perempatan lampu merah, maka anda diwajibkan membuat / memperlebar jalan di lokasi anda, agar kendaraan di tempat tersebut tidak langsung keluar-masuk ke lokasi anda, tetapi justru kendaraan lain bisa masuk ke fasilitas jalan yg anda persembahkan untuk masyarakat, memperlebar akses di sekitar lampu merah yang biasanya "kongesti" mampet.

Menurut informasi yang kami terima, hal ini bukan hanya wacana, tetapi sudah diterapkan.

Apakah hal semacam ini dihitung sebagai "gratifikasi"?

Sejatinya tidak, karena tidak ada perpindahan aset dari pengusaha kepada badan hukum atau perorangan siapapun, melainkan dalam bentuk fasilitas kota, yang notabene milik negara. Malah praktek ini menjadi pengumpul sumbangsih pengusaha kepada negara secara nyata. Ini menjadi semacam proyek kemurahan hati, charity, dari pengusaha kepada masyarakat dan kota.

***

Dengan diterapkannya metode unik ini, maka timbul pikiran sederhana: "Kalau pengusaha sekarang "willing" berbagi keuntungannya dengan kota dalam bentuk fasilitas, maka mestinya pengusaha untuk proyek yang sebelumnya, mestinya juga "willing" yang sama, tetapi SIAPAKAH PENERIMA willingness, sumbangsih demikian? Jika tidak dalam bentuk fasilitas kota, maka bisa jadi bentuknya "mentahnya" dan kepada siapa itu diserahkan? Entahlah walahualam bisawab. Penulis nggak tahu.

Sekali lagi ini hanya sebuah cara bernalar logika saja. Kebenaran sejatinya tersembunyi dalam praktek di masa lalu pemerintahan kota Jakarta.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline