Cerpeli (cerita pendek sekali)
Sudah dua pekan sejak Ibu curhat padaku lewat telepon. Katanya, "adekmu butuh uang untuk menebus buku. Banyaknya Rp 570 ribu. Adekmu malu karena sudah berkali-kali ditagih guru."
Suara ibu berhenti. Aku diam. Dari ujung telepon aku mendengar nafasnya berteriak. Menandakan betapa gusar hatinya saat itu. Tapi aku, jauh lebih gusar.
Sebagai anak pertama. Laki-laki pula. Aku sadar punya tanggungjawab besar untuk membantu. Apalagi sejak lima tahun bapak pergi untuk selamanya, ibu hanya jualan makanan ringan untuk biaya makan sehari-hari.
Ya, hanya untuk makan tok! Untuk tagihan listrik yang saban bulan datang, dia harus putar otak. Pinjam sana pinjam sini. Tapi yang membuatku tambah tak enak hati, tiada kesulitan yang dia limpahkan padaku.
Aku tahu kesulitannya justru dari bu Tini, tetangga sebelah rumah. Aku takut menghubungi ibu. Bukan karena aku menghindar dari kewajiban sebagai anak.
"Akupun tak punya uang bu," begitu akhirnya aku mengaku saat dia menelepon. Jujur. Memang aku tak punya uang saat ini.
Rekening listrikku membengkak. Beras di rumah habis. Utang sama ibu pemilik rumah kontrakkanpun sudah membengkak. Tiga bulan aku menunggak. Begitu gajian, tinggal Rp 300 ribu sisanya untuk biaya makan bulan ini.
Sekarang tanggal 25. Gajian masih 20 hari lagi.
***
Kriiing...!
"Halo! Lagi dimana?" Bondan bertanya.
Dia tanya lagi, apakah aku jadi ikut dengan rencananya.
Katanya mau mencuri kelapa sawit yang hasil curian Kepala Dinas Perkebunan dari kebun milik pemerintah. Waktunya sudah ditentukan. "Malam ini," katanya.
Aku berpikir. Mentalku ciut. Aku memang tak ada mental jadi penjahat. Seumur-umur tak pernah aku punya cita-cita jadi penjahat.
"Ikut nggak?" Lagi dia mendesak. "Bagiannya fifty fifty," katanya. Hmm menggiurkan...
Entah kenapa, terbayang wajah ibuku, wajah adekku, wajah istri dan anakku. Oh iya, susu anakku habis hari ini...
Aku mulai bimbang..aku ingat Tuhan...aku ingat lagi wajah Ibuku...
"Bukankan Ibu ibarat Tuhan di dunia," gumamku membatin.
Tapi Ibu sendiri yang mengutukku kalau jadi pencuri...
Aku berpikir, seandainya aku ikut mencuri semua beban bisa dibereskan sampai tuntas...
Di ujung telepon, Bondan masih menunggu jawabanku...
Kuhembuskan nafas panjang.. Aku buang bimbangku.. lalu kujawab dia "maaf aku tak punya mental jadi pencuri.."
*TAMAT*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H