Lihat ke Halaman Asli

Peter Chandra

wiraswasta

Lelaki dengan Cangklung dan Topi Pet Jadul

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1329097489969418740

Udah seminggu ini , setiap pagi meja kecil di pokok itu kosong terus, biasanya ada seorang lelaki tua duduk disana sambil mengisap cangklung dan melihat ke laptop yang penutupnya ada sebuah apple yang berkeroak sebelah. Sambil ditemani secangkir kopi pahit dingin

Seingat saya hanya sekali aja dia berbicara dengan saya, dan waktu itu, pertama kali diadatang, dengan setelan yang selalu sama. Sebuah cangklung di bibirnya , topi pet jadul yang warna biru dan menjinjing laptop yang ada apple terkeroak itu “Selamat pagi pak. Bisa saya bantu?” Sapa saya terhadap tamu biasanya “ Bapak mau pesan apa” “Kopi pahit dingin , tanpa gula, gelas besar.” Jawabnya kaku seperti biasanya seorang tua “Kopi pakai es?’ tanya saya tak percaya “ Ya.” Dia melirik saya dengan tajamnya. ‘Apa tak boleh?” “ya pak . Boleh aja ” jawab saya tergopoh gopoh Lalu saya siapkan pesannya dan kuhidangkan ke mejanya. Sang bapak tetep memandang laptopnya tanpa menghirau saya “Siapa nama lengkap kamu” tanya sang bapak tanpa melihat saya “ Puspa sari dewi Bin Samad” jawab saya Dia tetap sibuk dengan laptopnya. Saya melirik sekilas dia lagi sibuk online melihat foto foto di laptopnya. Sang bapak diam seribu bahasa , tak menghiraukan saya yang masih menunggu jawaban atas pemberitahuan nama lengkap saya. “Selamat pagi pak. Apa kabar?’ sapa ku keesok harian waktu dia berkunjung ulang “ Pesan apa pak?” “Seperti semalam dan seterus bagitu” jawabnya tanpa melihat saya. Keadaan ini berlangsung selama lebih kurang 3 bulan, datang dengan cangklungnya, topi pet Jadul biru , lantop apple terkeroak , duduk di kursi yang sama , tanpa ngomong apa apa waktu saya hidangkan kopi pahit dingin. Hanya sebelum meminggalkan kursinya, setelah laptopnya ditutup dan cangkungnya udah di kantongnya. Dia menatap saya dalam dalam selama 1 menit lalu meletakan uangnya di bawa gelas dan dia berlalu Udah seminggu ini kursi itu kosong, sang bapak tidak kelihatan lagi. Herannya mengapa saya koq selalu perhatikan kursi  yang kosong , begitu banyak kursi yang kosong tidak kuperhatikan. Seribu pertanyaan berkecamuk di otakku “Anda Puspa Sari dewi Bin Samad?” seorang lelaki parlente membuyarkan lamunanku “ Yaa.” Jawab saya gegapah karena baru sadar dari lamumanku “Boleh anda ikut saya sebenatar” tawar sang lelaki itu Entah mengapa saya begitu turut ama lelaki itu, bak kerbau ditusuk hidungnya saya ikuti dia. Tak lama sampai kami ke sebuah rumah yang cukup bagus , dengan halaman yang luas dan sebuah banguan tua yang masih terawat. Saya terkejut sekali , sebegitu saya injak kaki ke rumah itu. Sebuah ruang yang cukup luas dengan kursi jadul yang bagus sekali, yang mengherankan saya adalah sebuah foto yang berukuran 2 meter lebih , tergambar seorang wanita begitu anggun dengan baju model kebaya kartini, rambutnya tersanggul rapi dan seuntai melati berjulai dibahu kirinya. Ku pandangi wajah sang wanita , berdesirnya darah saya. Wanita itu mirip sekali dengan wajah ibuku. Dan ku lihat ke bagian bawa foto itu tertera Sari Dewi. Tambah terkejutlah saya. “Mari kita melihat kedalam” tawar lelaki itu membuyarkan keterkejutan saya Terkejut kedua kalinya saya dibuatnya. Sebuah foto ukuran 1.5 meter terpapang di ruang keluarga itu, seorang lelaki dengan cangklung dan topi pet jadul biru yang tak asing bagiku, seorang wanita yang anggun dengan sanggul yang rapi dan seuntai melati . keduanya begitu tak asing bagi saya. Seakan mereka masih hidup di depan mata saya. Saya kepingin tanya kepada bunda siapa si lelaki tua itu. “Mulai hari ini, rumah ini menjadi milik kamu” suara lelaki tu membuyarkan lamuman ku. Sebuah rumah yang begitu bagus koq bisa jadi milikku “Bapak tak salah?” tanya saya “ Tidak. Ini benar, Bapak ini” sambil menuju ke foto lelaki tu ini “Sudah memberikan rumah ini kepada kamu 10 hari yang lalu” “Bapak itu kemana koq tak langsung  berikan ke saya?” tanya saya “ Maaf, Bapak itu sudah meninggal seminggu yang lalu” Kayak kiamat dunia ini. Kayaknya saya tdak menginjak kaki saya di bumi ini. Bergetar jiwa dan raga ku, pikirkan ku udah entah kemana. Perasaan ini saya rasakan sewaktu saya kehilang Bunda ya setahun yang lalu. “Mari saya antar ketempat perisirahatannya” Lelaki itu menyadarkan diri saya Sebuah kuburan yang baru , tanahnya masih memerah, sebuah tanda terpacak disana dan tertulis “SAMAD bin Ahmad” dan lebih terkejut lagi disamping kubur itu adalah kuburan bunda saya. Benar benar saya jadi bodoh oleh suasana itu, seakan akan saya tak percaya apa yang terjadi. Seakan akan saya mimpi atau saya menghayal. Kucubit lenganku tapi terasa sakit. Artinya saya tak mimpi. Apa sebenarnya yang terjadi? “Mari ku antar pulang” ujar lelaki itu mengembalikan saya ke alam sadar. “Biarkan saya sendiri, saya akan kembali nanti. Terima kasih” Sunyi tapi tak menyekamkan, saya berada di antara kedua kuburan, yang satu bunda saya , dan satu lagi seorang lelaki yang kuperhatiakan selama 3 bulan ini. Walaupun saya tak pernah ngobrol sama dia, tapi tatapan matanya selalu memberikan kehangatan , kasih sayang yang dapat kurasakan. Tapi sekarang dia sudah tiada dan saya tak akan tahu siapa dia sebenarnya. Saya hanya pernah mendengar dia berkata sekali, hanya sekali waktu terakhir dia datang dan waktu saya hidangkan kopinya “Duduk nak.” Sambil dia tatap saya dengan penuh kasih sayang “Kamu cantik sekali, lembutmu dan senyummu mirip sekali dengan istri saya..................” Binjai 02-02-12 jam 7.16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline