“Islam Indonesia” yang belakangan ini santer dikampanyekan oleh pemerintah, terutama kementerian agama, saya kira akan bermain di tataran teoritis. Kalau pun praktis itu paling bagaimana bersikap menjadi seorang muslim yang ramah, toleran, dan mengakui kebhinekaan. “Kata kuncinya adalah moderat dan harmoni. Itulah Islam Indonesia,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam forum Kongres Umat Islam Indonesia VI (KUI VI) di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Tapi tataran praktis lainnya, nampaknya Islam Indonesia juga menyentuh aspek bagaimana membaca Al Qur’an. Sebagaimana peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW di Istana Negara Jakarta, pada Jumat malam. Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran, Surah An-Najm 1-15, oleh dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Muhammad Yasser Arafat. Berbeda dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an pada umumnya, pembacaan ayat suci kali ini menggunakan langgam (irama) Jawa mirip seperti sinden pada pagelaran wayang.
Kenapa langgam Jawa, tidak Medan, Bugis, Papua, ataupun Madura? Karena Jawa adalah Indonesia. Dan bukan rahasia umum, Indonesia adalah Jawa sentris.
“Kesalahan tajwid; dimana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti kebutuhan lagu,” komentar Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar, Qari’ interasional dari Arab Saudi, atas bacaan murattal tersebut. Mengandung pula kesalahan lahjah (logat). Membaca Al-Qur’an sangat dianjurkan menggunakan lahjah Arab, sebagaimana orang Arab membacanya. Dalam hadist disebutkan: “Iqra’ul qur’aana biluhuunil ‘Arobi wa ashwaatiha”.
Kesalahan takalluf, yakni memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim dalam membaca Al-Qur’an. Yang cukup berbahaya jika ada kesalahan niat, yaitu merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan atau kebangsaan dalam berinteraksi dengan al Qur’an, membangun sikapashabiyyah dalam ber-Islam. Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan tujuan pembacaan Al Qur’an dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air. Terkesan meragukan melihat pembacaan Al Qur’an dengan langgam Jawa bukan peninggalan dari para Wali Songo. Kalau warisan Wali Songo tentu saat ini masyarakat Nusantara akan terbiasa dengan langgam Jawa ini
Wali Songo dalam mendakwahkan Islam tidak dengan pemaksaan, itu pun tidak mensyiarkan Islam Nusatara tapi Islam ‘versi’ Rasulullah SAW. Lain cerita jika Ulil Abshar Abdalla, pegiat Islam Liberal, dijadikan ‘Wali Kesepuluh’. Pembacaan Al Qur’an dengan langgam Jawa pun bukan hal tabu.
Perlu dicatat, ketika masyarakat Nusantara berbondong memeluk Islam, sebelumnya mayoritas beragama Hindu Budha, tidak lantas kemudian penganut Hindu Budha diusir dari tanah Nusantara. Sejarah perubahan sosial terjadi secara alamiah, naturally.
Maka alasan apa TNI menolak pengungsi Rohingnya; apa karena mereka adalah Islam Rohingnya bukan Islam Indonesia? Nampaknya atas dasar nasionalisme, walau kontras dengan sabda Baginda Rasul SAW bahwa muslim yang satu bersaudara dengan muslim lainnya, muslim rohingnya ditolak di tanah indonesia. Ironis mengingat tanah ini merdeka atas berkat rahmat Allah SWT.
Tapi kita belum mendengar sikap pegiat HAM atas masalah Rohingnya. Genosida yang dilakukan biksu–direstui oleh pemerintah Myanmar–atas etnis Rohingnya, sepertinya belum cukup untuk memberi label kejahatan kemanusiaan. Mungkin karena mayoritas etnis Rohingnya adalah muslim. Atas keislaman mereka pula, mereka lebih memilih meninggalkan Myanmar tanpa kepastian nasib di laut–maupun di daratan.
Membaca Al Qur’an dengan langgam Jawa bisa jadi sebuah ‘kreatifitas’. Tapi kadang kita menginginkan yang ‘orisinalitas’ supaya mendekatkan kepada aqidah yang murni; tidak tersekat suku, bangsa, warna kulit, maupun cengkok. []