Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Bersama Ayah

Diperbarui: 12 November 2020   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Unsplash

You're just to good to be true.. 

Tak berlebihan rasanya kalau kalimat itu digunakan untuk menggambarkan sosok ayah. 

Sekitar 20 tahun yang lalu, aku masih ingat bagaimana suara deru mesin motor ayah yang berbunyi setiap pagi bersahut-sahutan dengan isakan tangis anak perempuannya. Ya, bukan hal baru kalau ayahnya pergi pasti anak semata wayangnya itu selalu nangis, karena ia ingin ikut dengan ayahnya.

Sampai pada akhirnya ayah tidak tega meninggalkan anak perempuannya. Dia mengajak aku yang masih berusia tiga tahun itu ke tempat kerjanya. Sesampainya di tempat kerja, banyak yang menyapa ayah dan keheranan mengapa ia bekerja dengan membawa anak. Bukan ayah namanya jika ia tak jujur dengan atasan. Ayah lalu mengajakku ke ruangan bosnya dan meminta izin agar aku diperbolehkan berada di kantor. 

Hampir tak percaya, ternyata bos ayah sangat baik. Bahkan ia memberiku permen yang memang selalu tersedia di meja kerjanya. Sepanjang ayah bekerja, aku sering diajak main oleh teman-teman di kantornya, terutama yang perempuan.  Waktu makan siang-pun tiba. Hari ini ayah harus mengeluarkan uang lebih banyak karena aku tidak mungkin makan di warteg tempat biasa ayah makan. 

Berhubung di depan kantor ada satu franchise yang terkenal dengan tokoh badut Ronald, akhirnya ayah mengajakku makan siang disana. Senang bukan main aku diajak makan disana, tempat makan itu memiliki perosotan di dalamnya. Ayah pun memesan makan siang untuk kami. 

Ya.. bukan hal mudah bagi ayah untuk menyuruh anak perempuannya ini makan. Hanya sekitar 5 suap yang berhasil ayah masukkan ke dalam mulutku. Sementara aku masih asyik dengan mainan Snopy-hadiah dari makan siang ini.  

Singkat cerita, ayah jadi lebih sering mengajakku ke kantornya. Entah karena ia tak tega melihat anaknya menangis atau memang sudah menjadi kebiasaan. 

Tapi hari-hari selanjutnya aku tidak diizinkan untuk bermain di kantornya, dan ayah menitipkanku pada seorang pegawai di restoran franchise depan kantornya. Tak heran kalau setiap hari aku bisa meneguk bergelas-gelas cola. 

Sampai pada satu hari, badanku panas. Tentu saja ibu tidak mengizinkan-ku untuk ikut ayah ke kantor. Seharian aku tidak bisa menelan makanan apapun karena perutku sakit. Akhirnya ibu memutuskan untuk membawaku ke Rumah Sakit. Dan dokter bilang aku harus menginap dulu di rumah sakit. Banyak selang-selang menggantung yang menancap di tubuhku. 

Setiap siang, ibu menemaniku di Rumah Sakit, dan malamnya bergantian dengan ayah. Pada satu malam ayah mengajakku jalan-jalan menyusuri koridor rumah sakit yang dingin dan dikelilingi aroma obat yang menusuk hidung. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline