Sejak KPUD DKI Jakarta menetapkan calon gubernur berikut nomor urut pasangan calon, masing-masing calon memutar otak untuk mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Cara-cara yang digunakan setiap calon kerap jauh dari hati nurani dan pikiran. Hal ini karena Sejak kasus Ahok menjadi viral di berbagai media, banyak yang menuding bahwa AHY telah bermain isu SARA untuk menjatuhkan lawanya. Ironisnya, dampak masifnya isu SARA yang terus disuarakan melalui media sosial telah memengaruhi opini publik yang membawa pada lunturnya pemahaman tentang Bhinneka Tunggal Ika.
Front Pembela Islam (FPI) secara terang-terangan telah mendukung pasangan AHY-Sylviana pascabergulirnya isu penistaan agama yang mencuat ke ranah publik. hal ini terbukti dengan beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan FPI secara masif. Keterlibatan FPI dalam Pilkada DKI Jakarta terlihat jelas dengan gerakan yang dilakukanya untuk memenjarakan Ahok.
Belakangan ini, demonstrasi yang telah melibatkan umat muslim dari berbagai wilayah di seluruh tanah air yang dipimpin oleh FPI dan GNPF-MUI telah membuat tekanan begitu besar bagi penegak hukum dan pemerintah. Terlepas dari cara-cara untuk menjatuhkan lawanya, tidak seharusnya para calon bermain isu SARA. Sebab, berpotensi memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sebuah pertemuan di bilangan Sunter Agung Jakarta Utara pada tanggal 15 November 2016 Agus mengatakan tentang dukungan FPI terhadap dirinya. Ia mengatakan, “Saya semua organisasi semua kelompok masyarakat semua individu yang mendukung saya tentu saya sikapi dengan sebuah sisi yang positif”.
Sementara itu, dalam acara pengajian bulanan FPI di Markaz Syariah Petamburan pada 1 Januari 2017. Salah satu calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendatangi pengajian tersebut. Dalam acara tersebut Anies mengklarifikasi berbagai tuduhan dan fitnah yang ditujukan kepada dirinya yang dituduh sebagai Syi’ah, Wahabi, dan Liberal.
Dalam acara tersebut Anies menyatakan bahwa dirinya bukan Syi’ah tetapi penganut Ahlussunnah Wal Jamaah. Selain itu juga, tudingan kepada dirinya yang menyatakan bahwa ia wahabi. Anies pun menjelaskan bahwa dirinya bukan wahabi. Terakhir, mengenai tudingan tentang dirinya bahwa ia liberal. Anies menjelaskan, bahwa dirinya adalah rektor Universitas Paramadina yang sebelumnya adalah Shohibul Iman dari partai PKS (Partai Keadilan Sosial) yang saat ini menjabat sebagai presiden PKS. Dalam hal ini, tentu mantan rektor Shohibul Iman tidak menginginkan Universitas Paramadina dipimpin oleh seorang liberal.
Mengenai berbagai macam tudingan terhadap dirinya Anies mengklarifikasi di depan ribuan jamaah FPI. Pertanyaan yang mendasar, sebenarnya apa kepentingan Anies dalam menghadiri acara tersebut. Peran FPI dalam pilkada DKI Jakarta memang terlihat jelas menyudutkan salah satu calon gubernur DKI Jakarta yakni Ahok. Kebencian FPI terhadap Ahok memang sudah lama terhitung sejak Ahok menjabat sebagai kepala derah Jakarta. saat itu, ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam tidak mengakui keberadaan dan otoritas Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta.
FPI Ancaman Demokrasi
Dalam berbagai kasus yang bersifat keagamaan FPI menjadi garda terdepan sebagai pembela Islam. Ideologinya yang radikal dan fundamental dapat merusak tatanan demokrasi. tindakan yang menjustifikasi orang lain seolah menjadi dasar untuk melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Padahal, sebagai organisasi pembela Islam tidak seharusnya melakukan cara-cara yang intoleran.
Pilkada DKI Jakarta telah menjadi wadah yang tepat untuk organisasi ini dalam menyuarakan akidahnya Khilafah untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keberagamanya menjadi contoh negara mayoritas muslim yang menganut demokrasi di dunia. Peran FPI dalam Pilkada DKI Jakarta disinyalir dapat memecah-belah keretakan bangsa Indonesia. Sebab, isu SARA yang terus disuarakan menjadi rentan ketika umat beragama lain terisolasi.
Dalam tulisanya yang berjudul “Musuh Dalam selimut” mendiang KH. Abdurrahman Wahid memberikan pandangan terkait penyusupan organisasi dan gerakan fundamentalisme dan subversif yang telah masuk ke lembaga-lembaga agama di tanah air. Menurut almarhum Gus Dur Penyusupan itu masuk ke lembaga-lembaga tertentu. Oleh karena itu, ia tidak heran jika banyak fatwa-fatwa dan gerakan-gerakan Islam yang menuai kontroversi dari berbagai elemen masyarakat.