Lihat ke Halaman Asli

Quo Vadis, Eropa?

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berminggu-minggu sudah kita yang mengamati perkembangan pasar finansial dunia dibanjiri oleh berita-berita dari Eropa. Setelah kasus Yunani mengguncang pasar keuangan dunia beberapa bulan lalu, giliran Italia yang akhir-akhir ini meresahkan para pemimpin di Eropa dengan hutangnya yang berada di level mengkhawatirkan. Lalu, apa urusannya Eropa dengan kita? Bagi pengamat pasar finansial, urusannya adalah apabila krisis di Eropa ini tidak segera diselesaikan akan mengancam sistem keuangan di Eropa dengan adanya kemungkinan ditinggalkannya mata uang euro yang selama ini menjadi mata uang utama di Eropa dan juga merupakan salah satu mata uang yang dominan di ajang global. Bayangkan apabila mendadak euro hilang dari peredaran! Krisis Lehman pada tahun 2008 saja sudah menghebohkan dunia dan merontokkan bursa saham di berbagai benua. Kasus LTCM pada tahun 1998 juga berhasil memicu kepanikan global sekaligus meruntuhkan pemerintahan Orde Baru. Nah, jika euro sampai hilang dari peredaran, dampaknya diprediksi akan jauh lebih parah daripada jika kasus Lehman digabung dengan kasus LTCM sekaligus! Jika diuraikan satu persatu dari awal mungkin akan terlalu panjang lebar. Jadi, singkatnya saat ini masih terjadi krisis kepercayaan di antara para investor terhadap kemampuan para pemimpin di Eropa dalam hal penanggulangan krisis yang saat ini terjadi di sana. Satu-persatu masalah telah ditangani, seperti melakukan bailout atau penyelamatan terhadap Yunani, Portugal, dan Irlandia. Namun hal ini belum menyelesaikan masalah karena ternyata pelaksanaan program reformasi di Yunani gagal mengangkat ekonomi Yunani yang terus terbelit hutang dan pada akhirnya beberapa waktu lalu dicapai lagi kesepakatan untuk memberikan dana bailout untuk menghindarkan negara ini dari kebangkrutan. Celakanya, belum sempat masalah di Yunani terselesaikan dengan tuntas, kekhawatiran merebak terhadap prospek ekonomi di Italia. Italia yang memiliki hutang lebih besar daripada jumlah gabungan hutang dari Yunani, Portugal, Irlandia, dan Spanyol, terus menerus terpojok dengan naiknya yield obligasi utang yang dikeluarkan oleh pemerintah Italia. Pekan lalu, yield untuk obligasi 10 tahun di Italia menembus angka 7%, angka yang umumnya dianggap sebagai angka mujur ini sebaliknya merupakan angka yang sial, terutama bagi Portugal dan Irlandia karena mereka terpojok hingga harus meminta bantuan dari Uni Eropa saat yield mereka mencapai angka tersebut. Kenapa sampai susah sekali menyelesaikan masalah ini? Pemerintah di Yunani sudah digantikan, di Italia PM Silvio Berlusconi sudah mengundurkan diri, dan terakhir di Spanyol pemerintahan partai Sosialis juga sudah digantikan dengan pemerintahan baru, namun bayang-bayang krisis di Eropa masih belum juga hilang sepenuhnya. Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi antara lain:

  • Meskipun sudah terbentuk pemerintahan baru di beberapa negara yang bermasalah, namun pasar masih menunggu hasil dari pemerintahan yang baru. Apakah mereka mampu secara riil melakukan perubahan yang positif bagi perekonomian masing-masing dengan cara mengurangi pengeluaran dan menambahkan pendapatan kas negara? Hal-hal ini yang masih belum terbukti.
  • Perbedaan pendapat antara Jerman dan Prancis seputar peran Bank Sentral Eropa (European Central Bank) dalam mengatasi krisis di Eropa bisa jadi merupakan kunci untuk menenangkan pasar dalam jangka pendek. Prancis menginginkan ECB untuk mau memberikan dukungan tidak terbatas dalam hal pembelian obligasi-obligasi negara-negara yang bermasalah, termasuk Prancis yang yield obligasinya mulai merangkak naik pekan lalu. Pihak ECB menolak hal ini karena tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Jerman sendiri lewat Kanselir Angela Merkel juga menolak karena selain tidak konstitusional, intervensi tak terbatas dari ECB sendiri dilihat tidak akan efektif. Menurut Merkel (dan juga ECB lewat Presidennya yang baru, Mario Draghi), solusinya ada pada pemerintah masing-masing yang harus segera menjalankan program-program reformasi ekonomi, terutama pada anggaran negara masing-masing dengan disiplin tinggi. Hal ini dilihat dapat mengurangi beban utang lewat pengurangan pengeluaran dan peningkatan pendapatan negara (lewat kenaikan pajak).

Hingga akhir pekan kemarin berbagai masalah masih belum terselesaikan. Yunani yang seharusnya mendapatkan pinjaman tahap berikutnya masih belum menerima pencairan dana sementara batas waktu pertengahan Desember sudah dekat. Pihak Uni Eropa menuntut dukungan dalam bentuk komitmen tertulis dari para pemimpin politik di Yunani yang hingga saat ini masih belum mendapatkannya dari pimpinan partai oposisi Antonis Samaras. Rencana perluasan dana EFSF (European Financial Stability Facility) dari 440 miliar euro hingga mencapai 1 triliun euro juga masih belum jelas mekanismenya. Selain itu yang paling krusial adalah peran ECB seperti yang telah diuraikan sebelumnya, masih belum jelas. Pekan ini pasar masih akan terus memonitor sentimen para investor yang tercermin pada yield obligasi negara-negara seperti Prancis, Spanyol, dan Italia. Italia pekan lalu telah menembus 7%, Spanyol nyaris menembus 7% dan Prancis masih jauh dari 7% namun bayang-bayang penurunan peringkat utang Prancis yang saat ini berada di level AAA terus mengancam. Semakin tinggi yield Prancis, semakin besar kemungkinan terjadi penurunan peringkat AAA-nya. Bagi para pengamat bursa saham Indonesia, pekan yang baru ini, seperti pekan lalu, dapat berakibat pada terjadinya volatilitas atau fluktuasi pada pergerakan harga saham.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline