Lihat ke Halaman Asli

Agung Pramono

Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

Post-Truth, Realita Pembenar di Luar Kebenaran

Diperbarui: 8 Agustus 2020   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth' (Paul Joseph Goebels)

Paul Joseph Goebbels adalah pendukung utama Hitler dengan posisi kunci sebagai Menteri Propaganda yang disegani oleh para ilmuwan sebagai pengembang teknik propaganda modern yang secara teknis disebut argumentum ad nausem atau kebohongan besar (big lie).

Karakter masyarakat awam bergeser menjadi peserta dengan beruntunnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan menjadikan masyarakat awam tidak lagi sebagai objek yang pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi, tidak lagi dideterminasi oleh media massa arus utama akan tetapi sudah mampu dikontribusikan untuk membentuk opini di wilayah publik, tidak sekedar berbagi pesan dan menyerap berita, tetapi mampu mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan institusi, dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik.

Aylin Manduric dalam salah satu tulisannya memaparkan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berbagai informasi membanjiri ruang publik media sosial, arus informasi yang deras tanpa batas tersebut.

Ruang publik menjadi hal yang kontra produktif ketika terjadi informasi yang tumpang-tindih di media sosial, apa yang benar bersaing untuk tersampaikan dan tersalurkan kepada masyarakat awam dengan informasi palsu dan keliru sehingga bahkan memiliki daya rusak yang dashyat karena penyebarannya yang sangat cepat dan tanpa batas dengan kemampuan untuk membangkitkan emosi yang sangat kuat, inilah gambaran fenomena post truth.

Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia adalah orang pertama yang menggunakan istilah post-truth melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya terhadap maraknya upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan bahkan memutarbalik fakta dan menurunkan kualitas data informasi yang objektif dengan data subjektif yang tampak masuk akal untuk diserap oleh perasaan, bukan logika faktual.

Post-truth terjadi ketika masyarakat membutuhkan pembenaran dari pada kebenaran sehingga lebih mencari atau membutuhkan sebuah pernyataan yang mendukung keadaannya apa dan bagaimanapun itu, diluar benar atau salah, kenyataan bersaing dengan ketidak-jelasan.

Salah satu faktor yang menjadi pemicu berkembangnya post-truth adalah kehadiran teknologi informasi yang mampu menciptakan realitas sendiri, sesuai dengan kepentingan yang berdampak pada terpisahnya antara penanda dengan pertanda.

Algoritma media sosial berperan dalam menciptakan keadaan di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang serupa dengan rutin, masyarakat akan hanya mendapat informasi yang liar dan tidak objektif, sehingga tidak boleh ada realitas lain yang boleh dianggap kebenaran yang pasti yang berakibat menguatkan suatu identitas atau pendapat, kekuatan masyarakat penikmat realita artifisial menjadi sebuah potensi yang memicu konflik.

Berpengetahuan Sekaligus Menjadi Bodoh Di Era Post Truth

Poerwadarminta mengatakan bahwa 'tahu' adalah kondisi mental tentang keadaan mengetahui. Pengetahuan mengandung arti sebagai segala sesuatu yang diketahui tanpa perlu mengikuti prosedur tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline