Elon Musk, sosok yang identik dengan inovasi teknologi dan kekuatan pengaruh global, kini menjadi pusat perhatian dalam perdebatan mengenai pengaruhnya terhadap hasil pemilu Amerika Serikat. Bukan hanya melalui inovasi bisnisnya, tetapi juga peran langsung dan tidak langsungnya dalam ranah politik AS.
Seiring pemilihan presiden yang semakin dekat, keterlibatan Musk semakin mencolok. Ia beralih dari sekadar pendonor dan pengusaha sukses menjadi aktor politik yang signifikan. Pengaruhnya mengalir kuat melalui platform media sosial X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter), yang ia miliki, hingga keterlibatannya dalam strategi kampanye politik.
Pengaruh besar Musk di pemilu Amerika Serikat ini memunculkan dua sisi pandangan: ada yang melihatnya sebagai upaya menggerakkan demokrasi, dan ada pula yang menuduhnya sebagai pemicu disinformasi besar-besaran yang memengaruhi opini publik. Lalu, benarkah hasil pemilu AS ditentukan oleh pengaruh seorang Elon Musk? Apa yang membuat pengaruhnya begitu signifikan dalam kancah politik negeri adidaya ini?
Dalam pemilu AS, bukan hal yang asing melihat para miliarder berperan sebagai pendonor utama bagi para kandidat. Elon Musk awalnya berada dalam peran tersebut, memberikan dukungan finansial terhadap beberapa kandidat yang memiliki visi serupa dengannya.
Namun, kali ini, peran Musk berkembang lebih jauh dari sekadar dukungan finansial. Menurut laporan Le Monde, Musk secara terang-terangan mendukung beberapa kandidat, termasuk Donald Trump. Langkah ini mengejutkan banyak orang, mengingat Musk sebelumnya lebih dikenal sebagai sosok netral dan fokus pada perkembangan teknologi.
Berubahnya Musk menjadi tokoh pendukung salah satu kandidat besar memberikan dampak yang sangat besar. Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, menjelaskan bahwa "dalam iklim politik Amerika Serikat yang semakin polarisasi, dukungan figur publik besar seperti Musk bukan hanya mendorong opini tetapi juga membentuk persepsi tentang kekuatan kandidat di mata publik."
Andrea melihat fenomena ini sebagai manifestasi dari kekuatan yang kini dimiliki oleh pengusaha teknologi besar, yang mampu mengarahkan opini massa, terutama melalui akses mereka ke media digital dan sosial.
Sejak membeli Twitter dan mengubah namanya menjadi X, Musk mengklaim bahwa ia ingin menjadikan platform tersebut sebagai arena kebebasan berpendapat tanpa batas. Namun, kebebasan ini membawa konsekuensi yang tak terduga. Menurut laporan dari VOA Indonesia, X kini menjadi pusat penyebaran informasi dan disinformasi yang dapat memengaruhi opini publik secara besar-besaran.
Penghapusan moderasi ketat yang pernah diberlakukan di Twitter memungkinkan berbagai konten disinformasi beredar luas. Terlebih lagi, X kini menyediakan fasilitas yang memungkinkan pengguna tertentu untuk lebih mudah memperbesar jangkauan konten mereka, termasuk konten yang mempromosikan atau menjatuhkan kandidat.
Pengaruh ini terlihat jelas ketika X mulai dijadikan sebagai "alat propaganda" di dalam kampanye politik AS. Banyak akun-akun pro-Musk dan pro-kandidat tertentu yang memanfaatkan algoritma X untuk menyebarkan narasi positif tentang kandidat yang didukung dan menurunkan citra kandidat lawan.