Cerahnya sinar mentari menyerang kulitku siang ini. Aku yang tak tahu kemana harus melangkah masih terompang amping dengan seberkas surat lamaran di genggaman. Sungguh tak mudah mencari pekerjaan dizaman serba modern seperti saat ini. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan bagus yang tentunya ditunjang dengan penghasilan yang sepadan.
Aku sadar betul, gelar S1 yang kini ku raih tak menjadi jaminan untuk mudah mendapatkan pekerjaan. oh ya, sebelumnya perkenalkan namaku Yasmin. Sudah seminggu ini aku pontang panting mencari pekerjaan kesana kemari. Menjejakkan kaki di perusahaan satu ke satunya lagi. Rasa untuk menyerah kadang datang dan menggodaku untuk berhenti berusaha. Namun, aku sadar betul, aku adalah tulang punggung keluarga dan aku masih harus menyekolahkan adik laki-laki ku yang masih duduk di bangku kelas 8 SMP. Orangtuaku sudah bercerai dari 5 tahun silam. Ayahku entah berada dimana dan kini Ibuku membuka warung di rumah.
Jika mengingat keluargaku, semangatku terus mengalir dan mengalahkan segala perasaan menyerah yang sudah memumpuk dipundak ini. Akupun kembali melangkahkan kakiku dengan harapan berhenti di tempat yang tepat. Sudah 3 perusahaan yang kudatangi dan menolakku dengan berbagai alasan. Dari mulai karena pekerjaan yang ku pilih sudah di ambil orang lain sampai dengan karena Universitas tempatku menuntut ilmu selama 4 tahun bukanlah Universitas yang bergengsi. Aku mendapatkan gelar sarjanaku di Universitas yang memang tidak begitu terkenal di Jakarta dengan jurusan Ekonomi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 sore hari namun tak ada sedikitpun harapan untukku mendapatkan pekerjaan hari ini. Akupun memutuskan untuk megistirahatkan kakiku di pinggir jalan sambil membeli es cendol yang tampaknya sangat menggairahkan. Entah karena wajahku yang memang sudah kusut atau memang karena saat itu pembelinya sedang sepi, ibu penjual cendolpun mengajakku untuk mengobrol.
"piye to ndo, kok mukamu lusut begitu? habis mencari alamat?" tanya ibu itu dengan logat jawanya yang sangat kental.
"hah? engga kok bu. Memangnya saya ayu tingting yang kesasar mencari alamat" jawabku sambil sedikit mencoba mencairkan suasana
"alah ndo, bisa aja. lalu habis apa kamu ndo?"
Setelah menceritakan semuanya kepada ibu penjual cendol yang kini ku kenal dengan panggilan Ibu Marni itu, rasa lega kini mulai terasa di penjuru dadaku. Seolah ada yang mengambil sebagian bebanku, kini aku bisa bercerita dengan memamerkan senyuman di wajah. Ibu marni benar-benar memiliki jiwa keibuan yang mengingatkanku dengan ibu.
Aku rasa tak hanya aku yang merasa nyaman bercerita dengan bu Marni, karena iapun sudah bercerita banyak denganku sampai-sampai aku membantunya melayani pelanggan saat itu. Bu Marni menyaraniku untuk membuat usaha kecil-kecilan dirumah, namun karena tak mempunyai modal, bu Marni memintaku untuk membantunya menjual cendol sampai aku bisa mendapatkan modal untuk membuka usaha kecil-kecilan itu. Aku seperti dipertemukan dengan malaikat penolong yang memberikan cahaya terang untukku.
(nantikan lanjutannya :D)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H