Lihat ke Halaman Asli

Dialektika Cinta Vs Materialisme; Cinta? Mau Makan Apa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14150958141382727728

Kontroversi tentang siapa yang lebih hebat dan berperan besar dalam peradaban hidup manusia sudah terjadi jutaan tahun ke belakang, entah dimulai dari mana, tapi yang pasti, perjalanan itu akan berakhir disini. Ya, dilembaran kertas virtual ini semua akan berakhir, perjalanan mereka akan diilustrasikan dalam sebuah perdebatan alot yang mengernyitkan dahi dan indra. Semua teka-teki akan terjawab, semua teori akan diuji keshahihannya.

Bukan ilustrasi tentang antonym, sinonim dan nim-yang lainnya. Tidak peduli mana yang baik atau buruk, terdikotomi atau tidak, image mereka memang sudah begitu adanya. Ada manusia yang berpikir bahwa perbandingan eksistensi mereka 1:100 atau sebaliknya, ya aku pikir begitu. Bahkan ada yang menganggap mereka sebelah mata, padahal perangai mereka hidup dalam lubuk manusia berwujud natural maupun imitasi.

Suatu waktu, ditempat antah-berantah yang nun jauh, sepi dan tak berpenghuni, pergumulan itu dimulai.

*********

Sebuah wujud abstrak bernama Cinta tertunduk, tak ada yang mampu menafsirkan yang sedang ia bayang dan pikirkan. Mungkin ia sedang gundah, atau bisa saja berpura-pura lemah tapi bereuphoria. Semua kemungkinan bisa.

Sudah 48 jam ia tertunduk tanpa gerak dan suara. Tak ada yang berusaha menyadarkan atau menghiburnya. Karena memang ia sengaja memilih tempat tak terjamah. Tiada yang tahu apa yang menimpanya, apa alasan ia tertunduk lemah dan scene apa yang akan tersaji nanti.

Kesunyian yang ia pupuk cukup sempurna, sampai pada suatu waktu (12 jam kemudian). Sekelumit cahaya besar mendekat aksidental. Imaji Cinta agak terhenyak, tapi jiwanya tetap tak bergeming. Cinta mengenali sosok tersebut, bau dan gerak yang tak asing. Sosok kekar tersebut berhasil membongkar kesunyian yang sesungguhnya tak mampu diobrak-abrik oleh siapapun, kecuali Materialisme. Ya, Materialisme namanya, semua makhluk tentu tahu. Karena alam tersebut hanya bisa ditempati oleh kedua sosok tersebut, Cinta dan Materialisme. Cinta dan Materialisme ibarat dua sejoli, dua sejoli yang tuli.

Sosok gempal tersebut berujar dan memecah kesunyian.

“Cinta, mengapa kau ada disini? Apa yang sedang kau risaukan? Beberapa hari ini aku tak melihat batang hidungmu, ternyata kau bersembunyi disini?,” kata Materialisme

Cinta diam.

“Hey, jawablah! Mengapa kau membisu?”

“Apa kau sudah lelah dan patah arang menjalani pertempuan denganku? Selama ini kau selalu kalah, apa karena itu kau menjadi seperti ini?” Lanjut Materialisme

Cinta tetap bisu dan tertunduk. Sementara Materialisme tetap memberondong cinta dengan pertanyaan dan ancaman.

“Hey ayolah! Kalau kau tak juga bicara, aku akan lapor kepada tuhan bahwa kau telah menyerah dan mengakui kemenanganku. Dengan begitu kau akan lenyap dari muka bumi ini hahahaha!” kata Materialisme sambil terbahak.

Mendengar perkataan tersebut, Cinta meradang. Kebekuan jiwa yang sudah ia pertontonkan kurang-lebih 60 jam sontak berubah. Cinta menata dan mensinergikan kembali semua kekuatan jiwanya. Seketika cinta bangun, dan menjawab pertanyaan yang terlontar.

“Hey, cocotmu jangan sembarangan kalau bicara!”

“Menyerah? Sampai bumi hangus pun pantang aku menyerah terhadap bajingan sepertimu. Sungguh tak layak kau berkompetisi denganku, kau hanya secuil upil bagiku wahai bajingan”

Materialisme tertegun melihat reaksi frontal dan tak biasa dari cinta. Sampai seganas itukah respon cinta terhadap kata-katanya tadi. Materialisme penasaran. Gerangan apa yang tengah merasuki cinta.

“Kau kenapa? Se-resah itukan jiwamu? Sampai-sampai kau menohok candaku dengan mulut harimau-mu”

“Aku ingin membunuhmu wahai bajingan” sanggah cinta.

“Apa?” balas Materialisme sambil menahan tawa.

“Ayo kita selesaikan semua sekarang juga. Aku tidak ingin menyisakan waktu (lagi) untukmu di dunia fana ini,” jawab cinta dengan mata berkaca

“Oke! Sekarang apa yang kau mau?”

“Mari kita bertempur melalui pembuktian-pembuktian shahih, tunjukkan semua kemampuanmu”

“Oke, siapa takut!”

************

Dan akhirnya dialektika itu pun dimulai.

Cinta: Setiap manusia membutuhkanku. Milyaran cinta telah kusebar dipelosok dunia.

Materialisme: Ah, sungguh normatif sekali kau. Aku juga sama sepertimu, bahkan jumlahku dua kali lipat lebih banyak darimu, hahaha

Cinta: Aku menyebarkan ketulusan. Kau menyebarkan kepalsuan.

Materialisme: Apalah arti ketulusan jika perut kering kerontang. Lagipula, banyak manusia berkedok diriku atasnamamu. Mereka memakai topeng materialisme untuk mengumbar cinta.

Cinta tertohok oleh serangan yang diucapkan oleh Materialisme. Ia mulai gelisah dan berpikir keras. Ia berusaha menenangkan jiwanya. Ia tidak boleh lengah, apalagi kalah.

Cinta: Tahukah kau seberapa besar cinta yang dimiliki seorang bapak terhadap anak dan istrinya? Ia pergi membanting tulang sejak terbit fajar hingga pekatnya malam. Sebesar itulah diriku tumbuh dihati sang pencari nafkah tersebut.

Materialisme: Tahukah kau artis Mayang Sari? Apa yang ia perbuat terhadap Bambang Trihatmojo? Apa kau pikir Mayang mencintai Bambang? No, I don’t think so. Mayang hanya melihat bahwa Bambang bisa memberikan masa depan yang cerah baginya dan putri tunggalnya.

Cinta mencoba memungut kepingan-kepingan tenaga yang ia punya. Dengan nada lemah ia melanjutkan perdebatannya.

Cinta: Apa kau tahu Professor BJ. Habibie?

Materialisme: Ya, ada apa dengan professor tersebut?

Cinta: Lihatlah kedua bola matanya, coba kau selami hatinya. Apa yang ia lakukan terhadap Ainun? Apa kau paham seberapa besar cinta yang ia tanam terhadap Ainun? Bahkan sampai ajal menjemput, professor Habibie tetap berada disampingnya untuk tetap memberikan cinta yang suci, sejati, dan tanpa pamrih.

Materialisme: Tahukah kau Gayus Tambunan, Ratu Atut, Akil Mokhtar, Anas Urbaningrum? Apa yang telah mereka lakukan? Ya, mereka korupsi uang rakyat. Apa kau berpikir mereka punya keluarga yang mereka cintai? Aku pikir mereka juga punya rasa cinta, tapi maaf, sepertinya mereka lebih memilihku. Lihat saja apa yang sekarang terjadi pada mereka? Mereka mendekam di rumah tahanan KPK gara-gara memujaku. Hahaha.

Cinta terhanyut dalam kubangan yang ia ciptakan sendiri. Dia sungguh tak habis pikir, kenapa Materialisme selalu mempunyai senjata untuk meng-counter setiap pernyataannya. Mengapa Materialisme diciptakan dengan kecergasan yang unik. Cinta tak kehabisan akal, ia terus berupaya melumpuhkan Materialisme dengan analogi-analoginya.

Cinta: Kau pernah menonton film Overboard (1989) yang dibintangi Goldie Hawn dan Kurt Russel? Apa kau tau sebab mengapa Joanna Stayton (Wanita Miliarder) meninggalkan Grant Stayton dan memilih untuk hidup dengan Dean Proffitt (Tukang Kayu Sederhana) setelah ia pulih dari amnesianya? Ya, walaupun aku sangsi kau pernah menontonnya atau tidak, disini aku hanya menyampaikan bahwa keputusan Joanna ini yang kusebut sebagai mukjizat cinta yang takkan pernah bisa kau miliki.

Materialisme: Luar biasa sekali ilustrasimu, tapi sayang itu hanya sebuah fiksi. Tapi Okelah boleh juga. Sekarang tahukah engkau bahwa jumlah lelaki dan perempuan itu 1:10?

Cinta: Ya, terus kenapa?

Materialisme: apa kau tahu bahwa pria cenderung memiliki orientasi adventure (petualangan) dalam memilih pasangan? Ya, para pria cenderung menseleksi wanita yang akan ia nikahi. Ia takkan menikah jika tak menemukan kriteria yang ia inginkan, entah itu cinta, kenyamanan, kesetiaan dan lain-lain. Tapi yang jelas, porsimu tidaklah banyak wahai cinta, mungkin hanya 1/3 pria yang mendambakan cinta dalam pernikahannya. Kemudian, apa kau tahu bahwa wanita cenderung memiliki orientasi security (keamanan) untuk masa depannya dibanding cinta yang kau agungkan tersebut? Ya, hampir 2/3 wanita ingin menikahi lelaki yang mapan dan memiliki materi berlimpah.  So, kau mampu mengkalkulasikannya kan? Ya, eksistensiku lebih dari padamu. Hahahahaha

Cinta tertunduk, terlintas bayang-bayang kekalahan dalam benaknya. Cinta sudah mulai goyah. Tapi ia mencoba bertahan melawannya hingga titis darah terakhir.

Cinta: Eksistensi dan kuantitasmu memang lebih dari padaku. Aku akui itu. Tapi, apalah arti kuantitas tanpa estetika.

Materialisme: Siapa bilang aku tak estetis? Apa kau berpikir seperti itu? Sungguh naif kau. Apakah kau tau bahwa para pemujaku selalu menggunakan seni ketika beraksi? Nampaknya kenaifanmu sendiri yang justru telah membuatmu jatuh. Hahaha.

Cinta: Oke, sekarang aku ingin bertanya satu hal. Dengan segala tipu muslihat yang kau sebut seni tersebut, apa yang selama ini kau dapatkan?

Materialisme: Hanya itu saja? Pertanyaan yang sangat mudah. Apa tidak ada pertanyaan yang lebih kompleks yang bisa meruntuhkanku?

Cinta: Jawab saja bajingan!

Materialisme: Jawabannya sederhana. Aku telah meraih kenikmatan tak terhingga yang takkan mampu kau raih.

“Epik sekali argumentasinya” gumam Cinta. Cinta diam sejenak, hampir satu menit ia bisu.

Materialisme: Hey, kenapa kau membisu? Gerangan apa yang membuatmu limbung. Hahaha!

Materialisme terbahak, seolah sudah menggenggam kemenangan. Kemenangan telak yang akan memusnahkan Cinta.

Setelah sempat sunyi beberapa menit, Ilham tiba-tiba menghampiri. Bagaikan setetes air di Padang Tandus. Cinta kemudian berujar.

Cinta: TIDAK SEMUA KENIKMATAN MAMPU MEMBAHAGIAKAN, TAPI SETIAP KEBAHAGIAAN PASTI MENIKMATKAN.

Materialisme kaget. Ia beku seperti batu yang dikutuk oleh Ibu Malin Kundang, hangus seperti tersambar petir, remuk seperti terhantam palu godam.

Ia menoleh dari pandangan Cinta. Ia menyingkap sebuah badik yang tersingkap dalam jiwanya. Kemudian ia menusukkan badik tersebut ke dalam ulu hatinya.

Ternyata sebuah ritual hara-kiri dilakukan olehnya. Sungguh sebuah elegi yang mencengangkan.

Inikah akhir dari sebuah perjalanan? Sebuah pesan yang kontraproduktif.

Tapi, entahlah. Siapa tau ada makna terselubung dari apa yang telah ia lakukan.

Sebuah Re-inkarnasi? Mungkin. Tak ada yang pernah tahu.*

Oleh

Ilham Permana Santana

Dibuat:

di Tebet (Selasa, 20 April 2010 pukul 06.41 WIB)

*Untukku yang hampir tak pernah menulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline