Lihat ke Halaman Asli

Aam Permana S

ihtiar tetap eksis

Jagalah Hati

Diperbarui: 13 November 2018   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tiba tiba saja, nyanyian Aa Gym berjudul "Jagalah Hati" itu serasa terngiang di telinga. Bibir penulis pun tak terasa bergerak, ikut bersenandung salahsatu bagian dari tembang Aa Gym tersebut.

Jagalah hati jangan kau kotori, jagalah hati lentera hidup ini.....Namun bila hati busuk, pikiran jahat merasuk....

Tentram, damai, sejuk, begitulah ketika dan setelah turut menyenandungkan lagu kiai kondang yang tak mau berpolitik walau banyak yang meminta dan merayu itu.

Apa yang ingin disampaikan Aa lewat syair dan lagu tersebut rasanya langsung sampai ke hati. Sampai di tujuan.

Dan memang demikianlah seharusnya. Hati yang terjaga, bisa membuat segalanya tentram, damai, aman, tidak ada saling curiga. Walau ada persaingan, misalnya, tapi suasana tetap kondusif.

Dengan menjaga hati, politisi, para calon presiden dan wakil presiden serta para tim suksesnya tidak akan menyebabkan suasana gaduh. Para calon, misalnya, tidak akan melontarkan istilah istilah "receh" dan murahan yang lebih tepat muncul di negeri dongeng untuk menakuti-nakuti anak seperti genderuwo.  

Penulis sebenarnya yakin seratus persen, bahwa politisi, capres dan cawapres, serta para caleg yang berkepentingan di tahun politik, adalah orang-orang terpilih, terpandang, berpikiran maju yang siap mengorbankan tenaganya untuk bangsa dan negara.

Mereka pun tidak perlu disadarkan lagi oleh tembang sederhana Aa Gym, apalagi oleh penulis yang bukan apa-apa dan siapa-siapa ("aku mah apa atuh?").

Seorang kandidat cawapres bahkan lebih dari paham soal pentingnya menjaga hati. Pemahaman keagaamaannya pun mungkin lebih hebat ketimbang Aa Gym (maaf Aa, hehe).  

Akan tetapi, karena tertutup syahwat kekuasaan, hati mereka jadi kurang terjaga. Mereka jadi mudah melontarkan kata dan kalimat yang kadang menyakiti orang atau kubu lain.

Memang bisa dimengerti, sebab politisi itu harus pintar berkata-kata dan bersilat lidah. Namun demikian, alangkah eloknya jika kata-katanya itu indah, tidak membuat gerah, tidak menyebabkan salahtafsir, dan lain sebagainya seperti istilah "tampang Bayolali" itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline