Lihat ke Halaman Asli

Aam Permana S

ihtiar tetap eksis

Sapu Ijuk dan KPK

Diperbarui: 13 September 2018   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sapu ijuk. FOTO: tarumpah.com

Dulu, siapa tak kenal sapu ijuk. Ya, dulu, sapu yang terbuat dari serabut pelepah pohon enau itu begitu populer di kalangan orang tua, terutama di pedesaan. Rasa-rasanya ibu-ibu atau pembantu rumah tangga kita, dulu, tak bisa lepas dengan barang itu, manakala membersihkan lantai rumah, di pagi, siang atau sore hari. Ketika barang itu tak ada di tempatnya, misalnya, biasanya ibu-ibu menggerutu, kemudian mencarinya ke sekitar rumah.

Namun kini, sapu ijuk (injuk dalam bahasa Sunda), tidak seperti dulu lagi. Sapu ijuk sudah mulai atau bahkan sudah dilupakan, termasuk oleh ibu-ibu yang dulu setia dengan barang itu. Namanya juga, boleh jadi tidak familiar lagi, apalagi untuk generasi milenial, generasi masa kini yang amat bangga dengan aneka gadget keluaran baru tersebut. Hanya, harapan sih, kesimpulan tersebut salah, keliru, hehehe

Mengapa seperti itu? Jawabanya, tentu karena kini sudah ada beberapa alat pembersih lantai yang dinilai lebih praktis. Sebut saja vacuum cleaner yang bentuk dan ukurannya bermacam-macam.

Vacuum cleaner, konon lebih bisa menyedot debu yang bersembunyi di lobang-lobang kecil, termasuk membersihkan kuman-kuman lantai yang membahayakan. Alat ini kalau di negeri ini barangkali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ya?  Bedanya, KPK belum sebelum seperti vacuum cleaner yang canggih-canggih karena keberadaan banyak diganggu pihak luar yang tak ingin dibersihkan seperti debu dan kuman...

Sapu, boleh jadi masih digunakan rumah tangga, baik di pedesaan atau di kota. Namun sapu yang digunakan, kini sudah beragam. Maksudnya sapunya kebanyakan bukan yang terbuat dari ijuk lagi, tetapi dari  bahan sintetis, karet atau senar. Padahal, sapu yang terbuat dari bahan terakhir, konon, tidak sehebat sapu ijuk, dalam kemampuannya membersihkan yang kotor-kotor di lantai.

Adakah yang merasakan dampak dari mulai dilupakannya sapu injuk? Tentu saja ada. Salasatunya perajin sapu injuk. Akibat sapu ijuk mulai dilupakan dan kalah bersaing dengan sapu berbahan lain, para perajin kini berada dalam kecemasan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Hal itu misalnya dirasakan perajin sapu injuk di Desa Cimuncang Kecamatan Malausma, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Menurut Iwan Munawar, seorang perajin yang masih setia membuat sapu injuk, gara-gara ada sapu berbahan sintentis, senar dan alat pembersih lainnya, penghasilannya semakin menurun, bahkan terkadang nihil. Itu terjadi, karena barang produksinya yang biasanya diambil bandar dari wilayah Rajagaluh untuk selanjutnya disebarkan ke sejumlah wilayah, kurang laku di pasaran. Hal ini menyebabkan bandar, tidak setiap hari atau minggu mengambil barang dari mereka.  

Dulu, kata Iwan,  berapapun jumlah sapu yang diproduksi akan cepat habis. Ya, karena bandar  hampir dua hari seminggu datang untuk mengambil sapu dari mereka. Otomatis, hal itu menyebabkan mereka tersenyum, karena datangnya bandar berarti  akan mendapatkan uang dari barang yang diproduksinya.

"Namun kini, menyedihkan. Bandar kadang datang dua minggu sekali. Kadang juga sebulan sekali, dengan alasan barangnya masih menumpuk di gudang," kata Iwan suatu ketika kepada penulis.

Itulah memang roda kehidupan. Berputar, berubah.

Sapu ijuk itu, boleh jadi suatu hari nanti hanya tinggal nama yang tercatat dalam ensiklopedi. Gejalanya sudah ada. Salahsatunya, pohon enau yang dulu begitu banyak, sudah mulai hilang, ditebangi karena dianggap kurang produktif atau karena lahan tempat bertumbuhnya disulap jadi perumahan karena perumahan sudah bergeser ke desa-desa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline