Lihat ke Halaman Asli

Aam Permana S

ihtiar tetap eksis

Tiba-tiba Tertarik untuk Turut Membangun Desa

Diperbarui: 10 September 2018   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan sebuah desa di Sumedang/dokpen

Masa pensiun penulis sebenarnya masih lama. Tapi belakangan ini, penulis mulai berfikir untuk berhenti bekerja, seperti saya pernah memutuskan untuk pensiun muda dari HU Pikiran Rakyat sekitar delapan tahun lalu. Hari-hari ini, penulis  tiba-tiba tertarik untuk aktif di sebuah lembaga atau yayasan yang bergerak di bidang pengembangan dan pembangunan desa.

Ada beberapa hal yang menyebabkan tertarik bergerak atau membaktikan hidup saya untuk membangun desa. Beberapa di antaranya, adalah kondisi desa dan masyarakatnya yang saya temui, ketika saya bepergian ke pedesaan untuk sebuah urusan.

Penulis lihat, kebanyakan desa yang  ditemui, rata-rata relatif tidak berkembang. Sekian tahun lalu, penulis pernah berkunjung ke sebuah desa terpencil di kawasan Garut Selatan, Jawa Barat. Itu ketika masih bertugas sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Dan ketika penulis menyambangi desa itu kembali baru-baru ini, desa itu, ternyata tidak terlalu banyak berubah.

Dari segi insfrastruktur, memang ada perubahan. Jalan yang dulu berbatu misalnya, kini beraspal.  Beberapa saluran air yang dulu sering jebol dan longsor, kini sudah ditembok padat dan rapih. Di desa itu pun kini ada bangunan yang bertuliskan "Bumdes".

Namun bila dibandingkan dengan anggaran desa yang digelontorkan pemerintah yang mencapai lebih dari Rp 1 M, rasanya perubahan yang ada di desa itu "masih kurang". Berarti, masih ada yang perlu digenjot di desa tersebut.

Yang menyedihkan lagi, pemberdayaan masyarakat di desa tersebut, terlihat lemah sekali. Berdasarkan catatan yang penulis terima, kebanyakan dari warga desa, tidak memiliki pekerjaan tetap . Sebagian remajanya pergi ke kota untuk bekerja di pabrik. Padahal, di desa itu ada potensi ekonomi yang bisa dikembangkan oleh pihak desa, melalui program dan anggaran permbedayaan masyarakat.

Ketika penulis baru-baru ini jalan-jalan ke desa tersebut, emak-emaknya (berumur 50 tahun) masih seperti dulu. Berkumpul di halaman rumah, dengan atau tanpa sesuatu yang dikerjakan. Mereka yang sebenarnya, boleh dikata masih dalam usia produktif, tidak berproduksi apa-apa. Padahal, mereka harusnya masih produktif, bekerja, walau di rumah.

Iseng-iseng penulis bertanya kepada salahseorang emak yang tengah duduk menikmati sinar matahari pagi soal mengapa tidak bekerja atau membuka warung kecil-kecilan misalnya. Jawabannya:  "tidak punya modal." Sebuah jawaban yang klise yang sebenarnya saat ini tidak pantas jadi alasan, karena Desa dan Pemerintah memiliki program pemberdayaan termasuk permodalan dalam skala kecil.

Apakah hanya di kawasan Garut Selatan dan terpencil? Tentu saja tidak. Di beberapa desa di daerah penulis tinggal pun, yakni di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, kenyataan lemahnya perkembangan desa dan tidak berjalannya program pemberdayaan masyarakat banyak terlihat.

Itulah di antaranya alasan penulis ingin mulai aktif di lembaga atau yayasan pemberdayaan desa yang benar-benar menaruh perhatian terhadap hal itu.

Hanya yang menjadi hambatan, penulis hingga saat ini belum menemukan lembaga atau yayasan seperti itu. Penulis sempat beberakali mencari lembaga dan yayasan terkait melalui mesin pencarian di Mbah Google.  Hasilnya, ada satu dua yang terlihat bagus. Sayang ketika penulis berkirim email, email itu kembali lagi karena email dituju tidak dikenal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline