Mula-mula sesak, akhirnya menangis. Demikianlah penulis, ketika melihat KH. Ma'ruf Amien dalam jumpa pers, usai beliau dideklarasikan Joko Widodo sebagai tokoh yang akan mendampinginya dalam Pilres 2019 mendatang.
Terus terang, saya sebenarnya berharap tokoh yang digandeng Joko Widodo untuk bertarung dalam Pilpres 2019 nanti dari tokoh partai yang masih muda. Sebut misalnya Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto atau tokoh lainnya.
Pentingnya pendamping yang lebih muda tersebut, di antaranya untuk disiapkan sebagai pengganti Joko Widodo --itupun dengan catatan Joko Widodo unggul dalam pertarungan nanti.
Akan tetapi, di saat akhir pengumuman, ada sesuatu terjadi yang tidak nampak seluruhnya ke permukaan. Mahfud MD --yang sebenarnya cukup diterima berbagai kalangan, yang disebut-sebut "pasti" digandeng Joko Widodo, harus gigit jari. Ia gagal digandeng. Terpaksa ia yang sudah berada tidak jauh dari tempat Joko Widodo dan partai koalisinya akan mengumumkan pendampingnya, pulang kembali.
Kejamkah Joko Widodo? Bagi yang lain, termasuk bagi Mahfud MD, mungkin tidak. Namun bagi penulis, itu tindakan kejam. Apalagi karena sebelum memutuskan memilih Ma'ruf Amien, Joko Widodo dan timnya tidak mengabari Mahfud MD. Tiba-tiba saja, dideklrasikan Ma'aruf Amien.
Namun itulah politik. Kejam dan penuh kejutan.Dan saya hanya bisa mengurut dada.
Untung, setidaknya begitu yang mencuat ke permukaan, Mahpud MD --yang saya akui pantas mendampingi Joko Widodo dan cukup membuat saya berfikir untuk memilihnya, tidak kecewa. Ia lapang dada, legawa, menerima takdirnya, untuk tidak jadi Cawapres, mendampingi petahana Joko Widodo.
Lalu, mengapa saya sesak dan menangis ketika melihat KH. Ma'ruf Amien?
Saya sesak kemudian menangis, karena terharu melihat beliau masih sedia menerima tawaran Joko Widodo untuk jadi cawapres, walaupun usianya sudah lebih dari 70 tahun.
Kebanyakan ulama, ketika diberi usia panjang apalagi lebih dari 70 tahun, lebih memilih berada di pondok pesantren untuk menjadi ulama dalam arti sebenarnya. Mengurus umat atau madheg pandito. Namun ini tidak. Beliau malah munggah keprabon. Beliau menyatakan siap untuk menjadi cawapres.
Saya dengar, ada nahdliyin yang menyesalkan sikap beliau dengan alasan-alasan tertentu. Termasuk alasan bahwa karena beliau NU, maka seharusnya beliau jangan berpolitik. Beliau harusnya menolak tawaran Joko Widodo, walau jabatan yang ditawarkannya menggiurkan dan langka.