Tidak seorangpun dapat menyangkal berbagai 'persamaan' kedua 'Orang Besar' ini, Paulus dari Tarsus dan Agustinus dari Hippo, sama-sama lalang yang pada awalnya tumbuh bersama gandum-gandum.
Keduanya juga sama-sama pintar, cerdas, dan ahli. Paulus adalah seorang Farisi yang sangat menguasai Hukum Taurat dan Ajaran Agama Yahudi, hasil pembelajaran dari Para Guru Hebat bahkan sekelas Ahli Taurat Gamaliel yang termasyur itu. Sedangkan Agustinus merupakan ahli retorika, sains, dan filsafat, sederet ilmu yang dipelajarinya di beberapa universitas ternama di wilayah Kerajaan Romawi masa itu, dan dia bahkan kemudian menjadi Mahaguru di Kota Milan.
Tidak seorangpun dapat menyangkal pula, bahwa kehidupan mereka sama buruknya, sebelum masing-masing mengenal Kristus dengan sungguh-sungguh. Paulus yang sebelumnya bernama Saulus termasuk di antara mereka yang dengan semangat berkobar untuk membela iman Yahudi, berupaya mencari-cari dan kemudian menghabisi Para Pengikut Kristus, sedangkan Agustinus begitu menikmati kehidupan duniawinya yang penuh kemewahan sekaligus kemaksiatan, bahkan sampai punya perempuan simpanan dan anak dari kehidupan seksual yang tidak sah itu.
Namun, persamaan itu kemudian bersimpang jalan di saat Kristus 'menangkap' Paulus dan Agustinus. Paulus 'ditangkap' Yesus dalam proses seketika dan serta merta, dalam perjalanannya ke Damsyik, sedangkan Agustinus 'ditangkap' Yesus melalui sebuah proses panjang untaian doa dan matiraga, deretan nasihat, dan deraian air mata kasih dari hati dan jiwa ibu yang tak putus mencintainya, yang juga mencintai suaminya, seorang kafir bernama Patricius, dialah Ibu Kudus, Santa Monica. Dalam perjalanan pertobatan Agustinus itu pula, Yesus 'meminta bantuan' orang kudus lainnya, Uskup Santo Ambroius.
Dari pengalaman kedua Orang Kudus ini tampaklah "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu" (Yoh 15:16a). Dan tampak pula perbedaan 'kiat-kiat' Kristus dalam memilih orang-orang yang akan 'ditangkap' untuk menjadi milik kepunyaanNya, di antaranya adalah, membiarkan setiap orang berproses dalam saat demi saat kehidupan, dalam jatuh bangunnya iman, dalam tersungkur dan tegaknya pengharapan, dalam runtuh dan terbangunnya kasih, dalam segala seluk beluk terang dan gelapnya kehidupan yang hanya Dia dan orang itu yang tahu dan mengerti, dan Dia tidak serta merta menuntut orang menjadi kudus, bebas dari kemunafikan, kebusukan, bahkan kejahatan, dan dosa, sekalipun Dia tentu sangat merindukan pertobatan orang berdosa, karena "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau," (Yer 1:5a).
Sekali lagi, Paulus dan Agustinus mengalami masa-masa kelam sebelum menjadi kudus, seperti yang dikatakan Santo Agustinus, "Tidak ada Orang Kudus yang tidak mempunyai masa lalu yang kelam, dan tidak ada pendosa yang tidak memiliki masa depan untuk menjadi kudus."
Tepatlah sabdaNya ini, yang tentu juga disampaikan kepada Paulus dan Agustinus, "Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu" (Yoh 15:16b). Dan Sabda Kristus itu terbukti dalam persamaan terakhir kedua Orang Besar ini, yang hadir dalam bentuk 'hadiah-hadiah luarbiasa dan kudus' mereka bagi Gereja, sehingga ada yang berpendapat, "Agustinus mungkin merupakan pemikir Kristen paling berpengaruh setelah Santo Paulus."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H