Revolusi Industri yang dimulai pada pertengahan abad kedelapanbelas tidak dapat disangkal, membawa kemajuan besar dan pesat bagi kehidupan manusia hingga kini. Betapa tidak, proses produksi yang sebelumnya makan lebih banyak waktu, tenaga, dan biaya, menjadi jauh lebih cepat, dan berproses dalam efisiensi tenaga dan waktu.Namun, Revolusi Industri juga berdampak buruk. Kehidupan keluarga-keluarga yang sebelumnya 'sama-sama sejahtera' karena berproduksi dalam industri rumah tangga sehingga masing-masing keluarga menjadi 'majikan' bagi diri sendiri, dan kemudian saling 'barter' materi dan jasa yang diproduksi, kemudian harus bersaing dengan industri-industri besar bahkan raksasa yang digerakkan dan dikendalikan oleh modal-modal yang besar bahkan 'raksasa' pula. Muncullah kapitalisme. Para kepala keluarga yang dulunya adalah 'bos' dalam industri masing-masing, yang kemudian tidak mampu bersaing dengan 'kapital' akhirnya harus rela berubah status menjadi buruh, bahkan buruh yang harus rela pula dibayar rendah karena prinsip ekonomi,'mengorbankan modal minimal untuk laba maksimal'.
Semakin lama jurang antara kaya dan miskin bahkan konglomerat semakin lebar dan dalam. Salah satu penyebabnya adalah transaksi ekonomi dilakukan di antara orang-orang 'sekelas' dan kelas yang lebih rendah lebih berperan hanya sebagai 'konsumen'. Apalagi di sana-sini ada begitu banyak eksploitasi sesama manusia, orang seakan-akan begitu bangga bila bisa menggaji karyawan dengan upah yang ditekan serendah mungkin, bila membeli barang dan berhasil menawar harga serendah mungkin pada mereka yang merelakan barangnya terjual dengan harga seperti itu daripada tidak laku, dan sebagainya. Kira-kira analog dengan perkataan Sang Maha Guru, "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka" (Mat 20:25).
Di satu sisi ada eksploitasi sumber daya manusia, di sisi lain, sebagian 'orang-orang berpunya' menggunakan materi yang ada padanya untuk hedonisme dan flexing. Dan inilah pertanyaan Santo Paus Yohanes Paulus II, "Begitu banyak saudara dan saudari yang berkekurangan yang sedang menantikan pertolongan, begitu banyak orang tertindas yang sedang menantikan keadilan, begitu banyak orang menganggur yang sedang menantikan pekerjaan, begitu banyak orang yang sedang menantikan penghargaan. Bagaimana mungkin bahwa sampai sekarangpun masih banyak orang yang mati kelaparan ? Terkungkung dalam keadaan buta huruf ? Banyak kekurangan perawatan medis yang mendasar? Tanpa atap yang menaungi kepala mereka ? Skenario kemelaratan dapat meluas tanpa batas, bila selain bentuk-bentuk tradisionalnya kita memikirkan pola-polanya yang lebih baru. Pola-pola macam itu sering berdampak pada sektor-sektor dan kelompok-kelompok yang kaya secara finansial, yang kendati begitu terancam oleh keputusasaan akibat tiadanya makna dalam hidup mereka, akibat kecanduan narkoba, akibat rasa takut akan ditinggalkan ketika lanjut usia atau sakit, akibat marjinalisasi atau diskriminasi sosial... Dan bagaimanakah kita dapat tetap acuh tak acuh terhadap kemungkinan krisis ekologi yang sedang menjadikan kawasan-kawasan luas planet kita tidak mungkin dihuni dan bermusuhan terhadap umat manusia? Atau karena masalah-masalah perdamaian yang seringterancam oleh peperangan yang mendatangkan malapetaka ? Atau oleh pelecehan hak-hak asasi manusia sekian banyak orang, khususnya anak-anak ?"
Jawabannya diberikan oleh Tuhan Yesus, dua ribu tahun yang lalu, dan selalu aktual hingga akhir zaman, "Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Mat 20:26-27).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H