Lihat ke Halaman Asli

Yudha Adi Putra

Penulis Tidak Pernah Mati

Sangkar yang Sengaja Kosong

Diperbarui: 3 Agustus 2023   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sangkar yang Sengaja Kosong

Cerpen Yudha Adi Putra

Sebagai mahasiswa yang tinggal menanti sidang skripsi, Jarwo merasakan kesepian. Waktu berjalan begitu lambat. Banyak cara dilakukan untuk membunuh waktu. Entah itu membaca, menulis, mencari informasi tentang pelatihan, bahkan sampai memelihara burung. Semua dilakukan dengan alasan waktu cepat berlalu. Permulaan pagi ini misalnya, Jarwo mendapatkan undangan untuk ikut pelatihan menulis. Entah nanti menulis tentang apa, keyakinan Jarwo adalah berangkat sepagi mungkin. Besar kemungkinan untuk mendapatkan makan siang. Bisa juga, setiap sapaan itu menjadi penguat untuk menjalani kehidupan. Sunyi memang, ketika kawan-kawan pergi dengan impiannya masing-masing. Menjalani setiap persimpangan jalan dengan kesepian.

"Pagi ini kalau bisa aku mau belajar sesuatu. Entah itu bisa berdampak baik dalam hidupku atau bisa mendatangkan uang. Paling penting sekarang adalah uang. Untuk beberapa hal, uang menjadi perlu. Hadirnya begitu kunantikan. Kesepian mungkin tidak akan terjadi kalau uang ada. Bisa melakukan banyak hal. Bisa membeli burung kesayangan," ujar Jarwo ketika mulai menyalakan motornya.

"Mau ke mana Jar? Perasaan tadi pagi kamu belum sarapan. Apa sebaiknya kamu makan dulu? Masih ada sisa semalam untuk dimakan. Lumayan, walau tidak enak. Itu cukup untuk menjadi dasar dalam perut sebelum menjalani keentahan hari ini," sapaan seorang lelaki dari balik pintu rumah.

Jarwo hanya tersenyum. Seolah, senyum itu menandakan kalau dirinya sudah kenyang. Kenyang ketika harus makan hal yang sama. Tiada hari tanpa tempe. Jarwo bosan juga. Lebih lagi, hanya burung yang menjadi hiburannya ketika malam tiba. Burung menemani dalam Jarwo menulis. Membaca beberapa buku cerita lama.

"Kalau tidak ada burung. Mungkin aku bisa gila. Tidak ada yang mengerti diriku. Orang terdekat hanya memberikan anggapan saja. Seolah, aku harus selalu siap dan baik-baik saja. Apa orang seperti diriku tidak boleh mengeluh?" keluh Jarwo dalam perjalanan menuju kota.

Tak banyak yang berubah ketika Jarwo menuju kota. Jalanan tetap macet. Pilihan untuk menanti di lampu merah semakin terhimpit. Tidak ada kesabaran dari masing-masing pengendara. Hanya dalam waktu semenit menanti saja. Sudah penuh semua lampu merah. Bunyi klakson seolah merasa diri paling penting. Tidak mau menanti.

"Kalau semua mau cepat. Apa tidak bisa sabar saja? Terbang mungkin menjadi solusi," ujar Jarwo sembari kepanasan. Ia menatap pengamen yang begitu persiapan dengan alat musiknya. Tidak ada yang aneh. Hanya saja, itu membosankan.

"Waktu berjalan dengan uang recehan. Pasti mereka kaya. Nanti bisa berdampak dalam hidup. Memberikan kesempatan untuk menabung lebih banyak lagi. Jangan sampai, mereka mengaku pengamen tapi sebenarnya punya banyak rumah," keluh Jarwo.

Perjalanan menuju kota terhenti pada sebuah toko. Toko itu berisi banyak burung. Ada banyak keperluan tentang burung. Walau Jarwo sudah memiliki banyak burung di rumah. Tapi, hatinya belum lega kalau belum membeli burung. Rasanya, ada perasaan terpuaskan ketika bisa membeli burung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline