Lihat ke Halaman Asli

Yudha Adi Putra

Penulis Tidak Pernah Mati

Subsidi Sekolah

Diperbarui: 28 Juli 2023   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Subsidi Sekolah

Cerpen Yudha Adi Putra

                Sudah lama, Jarwo mengharapkan kedua anaknya bisa sekolah dengan layak. Jarwo berusaha bekerja dengan giat. Itu semua demi keluarganya. Kebutuhan hidup terus saja meningkat. Muai dari listrik, makan, sampai kedatangan peminta-minta ke rumah kontrakan. Menjengkelkan Jarwo, ketika peminta-minta datang ke rumahnya, sedangkan Jarwo sendiri juga belum makan. Mereka sama-sama belum makan, tapi Jarwo paling anti dengan meminta.

                Dengan baju kumal yang sobek-sobek dan membawa kaleng, peminta-minta menunjukkan raut muka mengiba.

                "Bagi rezekinya, Pak. Saya belum makan sejak kemarin. Tadi malam tidur di pasar malah diusir juga, Pak!" kata pengemis itu dengan tubuh yang sebenarnya masih bugar.

                "Mari, silakan makan bersama kami. Kebetulan, pagi ini istriku memasak singkong rebus. Kita bisa makan bersama. Bukankah itu menyenangkan?" tawaran Jarwo hanya membuat pengemis tadi keheranan. Ada wajah sungkan, tapi diberanikan dirinya untuk mengungkapkan sesuatu.

                "Kalau boleh, saya minta mentahannya saja, Pak. Saya mau melanjutkan perjalanan," ujar pengemis tadi.

                Jarwo menahan amarah. Dia kini tahu betul, berapa banyak kesempatan yang diperoleh oleh pengemis. Pengemis itu tidak minta-minta untuk makan saja. Tapi, dia bisa membeli apa saja yang diinginkannya.

                "Apa? Pasti setelah ini, kamu akan pergi ke tempat lain dengan cara yang sama. Mungkin, dengan cerita yang dilebih-lebihkan. Kalau memang belum makan, mari makan bersama kami. Tapi, kalau minta uang, tidak akan kami beri. Berapa banyak orang yang akan kamu tipu hari ini? Meminta dengan wajah melas seperti itu!" bentak Jarwo.

                "Memang pekerjaan saya sebagai pengemis. Kalau bekerja dengan cara lain, itu mungkin orang lain. Tapi saya bekerja dengan mengemis, itu saja saya bisa menyekolahkan kedua anak saya sampai kuliah. Hanya dengan mengemis saja, mari bergabung dengan saya?" tawaran pengemis tadi justru membuat Jarwo jengkel.

                Hari demi hari, Jarwo menjadi kuli bangunan. Bayaran dari menjadi kuli hanya cukup untuk makan, itu kalau belum habis untuk membeli obat sakit pinggang. Anaknya ingin segera kuliah, tapi kesulitan biaya. Baru kali ini, Jarwo mendengar pengemis bisa menguliahkan anaknya dari hasil mengemis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline