Lihat ke Halaman Asli

Yudha Adi Putra

Penulis Tidak Pernah Mati

Cinderela dan Burung Pleci

Diperbarui: 11 Juli 2023   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinderella Kompleks dan Burung Pleci

Tulisan Yudha Adi Putra

Semacam mencatat apa yang berlalu hari ini. Mulai dengan bangun kesiangan. Memberi makan burung dengan pisang. Kalau sempat, tanaman diberi air. Pagi memang menyenangkan untuk melakukan hobi. Bisa apa saja, mulai dari berkebun sampai memelihara hewan. Tapi, ada kisah baru tentang Kimy. Ia merasa kesepian dengan pagi. Pagi tak lebih menyenangkan dari malam. Ada kemacetan jalanan yang harus dilalui. Bisa juga, setiap tikungan jalan memberikan sapaan. Itu berulang. Banyak menyebutkan sebagai tanda-tana perempuan yang tidak dewasa. Meski baru berusia dua puluh lima tahun, Kimy merasa disindir setiap kali membaca tiap tikungan. Tapi, siapa sangka. Kebenarannya tidak bisa disalahkan.

Kimy mencoba menerima setiap sapaan. Mulai dari tukang sayur, ojek pangkalan, bahkan sampai pengemis. Memang, tidak banyak pengemis yang bisa dipercaya. Belum lama, Kimy mendengar ada video beredar tentang pengemis.

"Ia biasa duduk di dekat stasiun. Membuat kakinya sendiri tidak bergerak. Lalu, melukiskan tangis di wajahnya. Kasihan dijualnya secara perlahan. Kalau bisa, ditukar dengan rupiah setiap lelah. Tapi, itu bukan tujuan utama. Langkah selanjutnya memberikan jawaban atas apa yang dilakukan," ujar Kimy.

Membaca tentang pengemis itu, Kimy ingat sesuatu. Tentang tanda perempuan yang enggak dewasa. Kisahnya sama seperti Cinderella. Umur terus bertambah menjadi angka. Langkah sudah pergi ke tiap sudut harapan. Tetap saja, ada keinginan yang terwujud. Keinginan bernama pangeran. Ada yang menyelamatkan pengemis. Itu dianggap Kimy menjadi kewajaran. Tidak selamanya bisa berjalan sesuai dengan rencana.

"Kalau tidak ada yang membantu. Itu bermasalah. Nanti, aku harus melakukannya sendiri. Rasa sepi berjuang dengan langkah yang berulang. Keinginan memang mencari alasan untuk terus berjuang. Bisa dengan bantuan, bisa juga dengan tangisan. Tidak ada yang mengenal langkah selanjutnya," kata Kimy sebelum akhirnya memulai hari.

Semua tanaman sudah dipersiapan. Bukan hanya disiram. Tapi, tanaman diberi pupuk supaya teduh. Bukan pada rasa kasihan saja. Ada pemeliharaan untuk hari esok. Pilihan demi pilihan dikatakan. Kalau tidak menjadi kenyataan, Kimy bisa marah dan menyesal. Tidak perlu diberi kesempatan. Dukungan bisa datang dari mana saja. Hanya dalam kesunyian. Semua menjadi kemenangan.

"Burung memang saling membutuhkan. Untuk membuat sarang mereka bekerja sama. Bisa juga saling memberikan informasi tentang letak makanan. Itu tidak bisa dihindari. Tapi, setiap burung tidak bisa mengandalkan burung lain. Burung lain memiliki sayap untuk terbang. Menukar setiap kepentingan demi kemandirian. Ini yang perlu dipelajari. Tidak mau mandiri dan selalu bergantung pada sayap burung lain. Bukan tidak mungkin. Ini sebuah ketidakmengertian akan langkah hidup."

Tulisan itu terpampang tepat di depan Kimy. Kala itu, banyak burung berterbangan. Mereka hendak membuat sayap masing-masing. Kimy menatap seekor burung kecil yang ada di pojok pohon. Tanpa rasa bersalah. Burung itu meminta banyak bahan sayap pada burung lain. Hanya karena burung itu kecil. Ia berbuat seenak dirinya, tentu dalam pandangan Kimy.

Kimy melanjutkan hari. Ada pilihan untuk kembali ke rumah. Bisa saja pulang membawa banyak kabar sukacita. Tapi, Kimy tetap meneruskan langkah. Sebagai gadis muda, ia ingin punya banyak pengalaman akan hidup. Rasa sepi dibunuhnya perlahan menjelang siang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline