Tas Kulit Janu
Tulisan Yudha Adi Putra
Kamu masih saja memakai tas kulit itu. Tas kulit yang sebenarnya sudah lama. Istrimu mengira, itu hadiah dari mantan kekasihmu dulu. Anakmu juga pernah menabung. Mencoba membelikan tas baru untukmu. Namun, tetap saja kamu menolaknya. Kamu memilih tetap memakai tas kulit lusuh. Tas kulit yang menyimpan cerita bagimu. Paling tidak, hanya itu barang berharga yang tersisa.
"Itu tas dari siapa, kenapa kamu pakai terus? Apa tidak ada tas lain. Bukankah setiap pulang, kamu bisa saja mendapatkan tas. Entah dari pelatihan, seminar, atau apa kegiatanmu itu!" ujar istrimu kala pagi.
Momen sarapan menjadi amat menyenangkan bagimu. Melihat anak dan istrimu bisa makan sampai kenyang. Lalu, nanti sibuk dengan mimpi dan kegiatannya masing-masing. Itu pasti menyenangkan, harapnmu. Kini, waktu terus berjalan. Anakmu kian dewasa, sudah hampir delapan belas tahun. Tepat seusia ketika kamu mengalami kejadian berkenaan dengan tas itu.
"Kalau saja, dulu tidak ada kerusuhan. Pasti pemilik tas ini masih ada bersamaku," katamu pada istrimu yang kian dibuat bingung.
Bagaimana tidak, kamu sendiri tidak pernah menjelaskan peristiwa yang terjadi. Bisa saja, dugaan istrimu benar. Kamu pernah mencintai orang lain dan orang itu memberikan tas itu. Tapi, sekuat tenaga kamu menjelaskan. Seolah, memang semua punya masa lalu. Tapi, tas itu bukan masa lalu yang buruk.
"Hanya semacam kenangan. Tidak untuk diceritakan, setiap orang boleh menyimpan rahasia bukan ? Ini bukan tentang berbohong. Tapi, bagaimana menjaga rahasia,"
Perkataanmu itu membuat istrimu kian cemburu. Seolah, tidak semua hal bisa kamu ceritakan kepadannya.
***
Sepuluh tahun yang lalu, kamu tetap saja tidak bisa melupakan. Kejadian di mana berhasil merusak pagimu. Tak ada yang mengira, itu menjadi kesempatan terakhir kamu bisa pulang. Bersama tas kulit milik kakakmu. Kamu terus berjalan. Menghindari kerusuhan. Kerusuhan itu tergambar dengan jelas di depanmu ketika menatap tas kulit itu.