Cangkul Pak Roki
Tulisan Yudha Adi Putra
Hari berganti begitu cepat. Muncul hal baru dan pandangan baru. Olahraga menjadi jarang dilakukan. Petani ke sawah jadi pakai motor. Tidak ada pejalan kaki. Semua ingin serba cepat. Untuk lari pagi saja, perlu persiapaan berhari-hari. Hanya ada lelaki tua di desa. Lelaki yang habis keluar dari penjara. Setelah menghirup udara segar, lelaki itu bingung bagaimana melanjutkan hidupnya.
Semua kemampuan bertahan hidup tak bisa dilakukan. Bekerja tidak pernah. Hanya ada satu kemampuan rahasia. Berjualan sabu. Makanya, tetap saja tidak bisa dipakai untuk bertahan hidup. Berjualan secara diam-diam. Tidak ada yang bisa mengerti ke mana saja lelaki itu pergi. Permainan petak umpetnya sungguh cantik.
"Tidak ada kemampuan lain. Hanya petak umpet yang aku bisa. Dalam penjara, makanan sudah tersedia. Kegiatan ditata sedemikian rupa. Aku hanya tinggal mengikutinya saja," ujar Pak Roki pada sahabatnya.
"Tidak mau mencoba usaha? Mau buka angkringan atau jualan gorengan ? Usaha seperti itu laris di sini. Tentu saja, uangnya bukan dari hasil tindak kejahatan. Untuk modalnya, nanti bisa ikut koperasi,"
Sebuah saran dilumat oleh Pak Roko. Hanya saja, dia tidak benar-benar yakin bisa berjualan. Bangun pagi menjadi hambatan. Tidak ada mantan narapidana yang bisa bangun pagi, begitu kata Pak Roki. Kebanggaan tersendiri menjadi mantan narapidana. Hanya tidak berjalan begitu lama. Pak Roki tetap membutuhkan uang dan pekerjaan.
Mencoba pergi ke sawah, Pak Roki teringat sawah peninggalan orangtuanya. Sepetak sawah kecil yang ditanami pohon jati. Ada sekitar dua puluh pohon jati yang cukup besar. Bagaimana tidak, pohon itu ditanam ketika Pak Roki masih kecil. Hingga tumbuh dewasa, tetap saja tidak pernah dilihatnya kembali.
"Ini semacam investasi masa lalu. Selain tanah dan emas, pohon jati menjadi harapan untuk hidup di masa depan," ujar Pak Roki.
Dalam perjalanan pulang dari sawah, Pak Roki menatap perlahan petani padi. Membawa cangkul menyusuri pematang sawah. Sesekali, petani itu mengusir burung. Tidak dibiarkan tanaman padi memakan burung. Lalu, ada percakapan dengan beberapa petani. Mereka mengeluh bersama. Waktu untuk menanam dan memanen juga direncakan bersama. Pak Roki seperti mendapatkan ide.
"Itu mirip sekali saat di penjara. Ada ketentuannya. Tidak pekerjaan yang tenang. Tapi, penuh dengan tantangan. Bisa jadi, menjadi petani akan membuatku bahagia. Perlahan, itu yang ditemukan dalam hidupku. Sebuah kebahagiaan dari anak petani yang sudah menjadi mantan narapidana," ujar Pak Roki sembari mendekati gubuk di sawah itu.