Bubur Ayam Jarwo
Cerpen Yudha Adi Putra
Dua botol Kawa-Kawa berjejer rapi di pojok meja. Deretan buku menemani. Jarwo barusan selesai mandi. Ia merapikan rambutnya. Menatap cermin, teringat sebuah perkataan. Bukan hanya itu, ada ketakutan muncul.
"Bagi saya, janji adalah janji. Kalau tidak bisa menepati, lebih baik tidak usah berjanji !"
Sambil menatap cermin, seolah sosok dengan ucapan itu tersenyum pada Jarwo. Bingung. Perasaan menjadi tak menentu. Jarwo rela tidak tidur semalam. Demi bisa berjumpa di esok hari. Janjian di gedung lantai empat, pukul sembilan pagi.
"Nanti, pastikan semua teman-teman bisa datang ya," sebuah pesan terbaca oleh Jarwo. Pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Jarwo memantapkan langkah. Ia melihat ke arah jam. Tak berdetiik. Hanya menunjukkan angka jam lima.
"Sekarang jam berapa ya, Bu ? Kenapa jamnya mati itu ?" tanya Jarwo keheranan.
Tak ada jawaban. Langkah berat Jarwo menuju ke sumur. Memastikan, Ibunya sedang mencuci atau mengambil air untuk menyirami tanaman.
"Kenapa, Ngger ?"
"Tadi aku tanya jam. Ibu ternyata tidak dengar. Itu, jamnya mati, Bu," kata Jarwo sambil mengulurkan tangannya pada ember. Ia mau membasahi rambutnya. Memang sudah mandi, tapi tidak keramas. Jadi, rambut gondrong Jarwo masih berdiri tak rapi.
"Kalau mandi itu ya keramas sekalian. Malah seperti tidak mandi kamu ini !" kata Ibunya Jarwo.