Perempuan Penjahit Sangkar
Cerpen Yudha Adi Putra
Waktu menunjuk tempat pukul delapan malam. Perempuan itu masih menatap hujan. Membiarkan tubuhnya basah. Semua yang terjadi tadi siang tak akan terlupakan. Bagaimana tidak, ia mendapatkan tawaran untuk kuliah. Patahan mimpi yang lama terkenang kembali. Setelah lama di desa, tawaran untuk belajar menjadi begitu indah.
Senja telah menemaninya. Sebuah kampanye pertanian milenial dihentikan. Tak ada lagi lahan untuk menanam. Mungkin mereka lupa. Pada sebuah ide besar. Padi itu ditanam, tidak bisa dicetak di pabrik. Hanya perempuan itu, tersenyum pada sangkar. Menatap perlahan, hingga hujan tiba tak dihiraukan. Sementara, hari berganti. Ada sepercik cahaya pagi. Semua perkataan harapan menjelma jadi puisi.
***
Kala memesan di sebuah warung, perempuan tadi mendorong sebuah kursi roda. Ada lelaki tua di kursi roda itu. Menunjuk sebuah jalan. Merapalkan harapan. Sejenak, hilang ingatan karena jalan banyak berubah. Dahulu sawah, kini menjelma perumahan mewah. Berjajar, tak memberikan celah bagi sebuah warna. Semua tersusun rapi, kecuali harapan perempuan tadi.
"Dimana kita bisa berutang senyuman, Pak ? Sudah tak ada tegur sapa di malam ini. Siang tak hayal sebuah harapan. Pagi tak ramah kala dulu. Semua berubah. Kecuali malam, ia tetap gelap. Merangkul semua hewan malam. Berupa kupu dan kunang. Apa burung itu bisa tidur dalam tenang ya Pak ?"
"Apa burung masih ada ? Tanyakan pada tiap lampu. Semua berjejalan masuk dalam harapan. Mereka memimpikan hidup bersama tapi membunuh sesama hewan. Mungkin, apakah manusia membawa doa lupa pada hewan ?" lelaki tua tadi meraih sebuah kotak kecil.
"Apa yang kau lihat ? Semua sudah berubah. Kita tak akan mendapat rupiah di sini. Mungkin, belas kasihan sudah langkah. Kita tidak akan mengemis lagi di sini. Ayo pergi !" ujar lelaki tua tadi. Ia kebingungan. Jalanan banyak berubah. Belokan menjadi tanjakan. Senyuman tetangga menjadi tatapan sinis tak terlupakan. Hanya pada malam, semua terkenang dalam nyanyian.
***
Hanya hujan. Pagi dimulai dengan hujan. Perempuan tadi sudah bangun. Subuh sudah ke pasar. Membawa banyak belanjaan. Bahkan, tak lupa memberi uang pada tukang pakir. Satu hal yang paling dibenci seumur hidupnya. Belanja. Tapi, seolah tak ada pilihan. Pagi harus dilewati dengan belanja dan memasak. Bukan hanya itu saja, memulai pagi dengan doa. Ada harapan supaya terjadi perubahan. Setidaknya, ia bisa kuliah dan hidup tidak begini dan begitu saja. Ia sendiri, merasa kalau hidupnya tak banyak perubahan. Hingga akhirnya, ada puisi dibacanya. Perlahan, dalam hujan. Puisi itu bisa hidup dalam kata-kata. Seperti padi, bertumbuh dan menunduk. Dalam banyak isi akan makna.
"Ada kucing di pasar tadi. Mereka seperti kelaparan !"