Perempuan di Sore Hari
Cerpen Yudha Adi Putra
Kemana Jarwo harus pinjam uang lagi. Hidup dari gali lubang tutup lubang. Utang ada di mana-mana. Di benak Jarwo, terbayang wajah penagih utang dan kemarahannya. Berbagai ancaman bermunculan membayang. Banyak orang mencarinya dan menagih dengan cara menyeramkan, siap melumat habis harta satu-satunya, yakni sawah.
"Tapi, tidak apa-apa sawah digadaikan dulu. Sekarang juga sedang musim gagal panen. Banyak hama dan cuata tak menentu," usul Jarwo memecah keheningan Sabtu pagi.
Mereka duduk bertiga di depan rumah. Istrinya mengamati sebuah dompet. Anak perempuannya sibuk menata buku. Keresahan membayar utang itu dirasakan Jarwo. Lelah bukan hanya fisiknya, perasaannya tak karuan. Menahan kepedihan, hidup miskin tak selamanya menyenangkan.
Suara anak perempuan Jarwo, bernama Erni terdengar pelan, sayu, dan seperti ketakutan.
"Nanti kalau sawahnya dijual. Kita bermain dan menanam di mana, Bu ? Kemarin saja, aku menanam cabai di pematang sawah. Aku tidak mau sawah digadaikan, Bu !"
"Iya, nduk. Ibu juga tidak mau. Semoga, kita bisa segera dapat rezeki buat bayar utang. Kalau begitu, sekarang Erni berangkat sekolah ya. Belajar yang rajin. Bekal makanan sudah ada. Hati-hati ya,"
"Erni pamit dulu, Bu !"
"Erni pamit sekolah ya, Pak !"
"Iya. Hati-hati di jalan, maaf Bapak tak punya uang untuk memberimu uang saku." Ujar Jarwo dengan meraih tangan anak perempuannya.