Sangkar
Cerpen Yudha Adi Putra
Kicauan burung ciblek selalu menemani pagiku. Sebenarnya, aku tidak bisa berbicara dengan mereka. Burung hanya tinggal dengan terpaksa di dalamku. Entah, sudah berapa burung pernah bersamaku.
"Sangkar itu sudah tua, ruji-rujinya mulai lapuk. Ganti saja!" kata seorang pemuda. Ia mengamati diriku dengan seksama. Beberapa kali tangannya menekan-nekan rujiku. Ada yang reot, tidak jarang terdengar bunyi retakkan kecil. Iya, aku sudah menemani banyak burung. Bukan menemani lebih tepatnya, mereka dikurung dalam sangkar. Kadang aku merasa kasihan, burung baru sering kelabakkan dan mematuk-matuk diriku.
"Tapi, sangkar itu sudah banyak kisahnya. Ia menemani Jeki, Rokie, bahkan sampai cucu-cucunya. Kalau diresparasi saja bagaimana?" ucap pemuda lain berbaju biru. Sepertinya, mereka sudah tidak senang dengan diriku. Aku memang model sangkar lama. Kalah dengan bentuk sangkar sekarang. Megah dan terbuat dari fiber, sedangkan aku hanya dari rautan bambu. Tulanganku juga penuh dengan paku dan lem.
"Dulu kau beli dimana ? Sebenarnya sudah jadi barang klasik sangkarmu itu," tanya seorang bapak. Aku kenal dengan bapak ini. Ia penjual burung. Kami sering bertemu. Jadi, kalau pemilikku membeli burung. Ia membawa sangkarnya sekalian. Jadi, dalam perjalanan pulang, burung itu sudah dalam sangkar. Biasa, aku jadi kotor.
Menjadi sangkar sungguh menyedihkan. Aku banyak melihat burung dari kecil sampai tua sebelum akhirnya mati. Burung awalnya belajar terbang aku menemani. Makan dengan suapan pemiliknya, aku juga melihat. Kalau sudah muda dilatih untuk berkicau. Itu semua menjadi momen dalam perjalanan hidupku. Hal paling sedih ketika burung itu mengeluh, aku ingin sekali menghiburnya. Tapi, mereka sangat membenci aku dan menganggap bertemu denganku adalah sial. Mungkin, karena aku sangkar yang membatasi kemerdekaan mereka. Merdeka untuk bebas mencari makan.
"Sangkar apa ini, terlalu sempit. Ruji-rujinya tidak halus. Terkena kakiku sakit sekali. Belum itu, kenapa aku di samping burung jelek itu ? Dia berkicau saja tidak bisa. Ada manusia mendekat malah kebingungan. Dasar burung prenjak !" ucap burung pleci saat tinggal di dalamku. Aku hanya tersenyum. Ia menghina diriku tidak masalah. Sebenarnya, aku juga tidak ingin mengurungnya. Andai saja, aku tidak pernah ada. Menyedihkan bukan, ada tapi menjadi pembatas bagi yang lain ? Sebenarnya untuk apa diriku dibuat ?
"Awas, manusia itu datang. Dia bawa semprotan air. Sialan, ini jam berapa. Kenapa harus mandi di jam panas seperti ini ? Seharusnya aku bisa berteduh. Sangkar jelek ini juga membuatku semakin tidak nyaman," ujar burung di samping burung pleci. Aku lupa namanya, tapi Timeo, nama sangkar tempatnya tinggal, aku kenal betul. Timeo sebenarnya sangkar baru, tapi karena bahannya hanya dilem malah membuat dia tidak kuat. Ada bagian yang terkelupas lemnya dan itu menjadi rongga. Sesekali, aku melihat burung itu kakinya terjepit di sana. Tentu marah-marah, Timeo jadi sasaran. Ia juga hanya diam. Sebagai sangkar baru, ia menghormati aku karena sudah ada terlebih dahulu di rumah ini.
Sebagai sangkar, kami juga sering ditata berjajar. Biasanya kalau pagi cerah menjelang burung-burung dimandikan dan diberi makan. Itu kesempatan kami untuk saling bercerita. Soal apa saja, mulai dari keluhan burung sampai perasaan bersalah kami sebagai sangkar. Tidak ada keinginan untuk menjadi penghalang burung bebas sebenarnya.
"Sekarang ada promo sangkar di dekat lapangan. Kata penjualnya, sedang menghabiskan stok model sangkar lama. Sangkar seperti punyamu ini," percakapan pemuda tadi memecah lamunanku. Aku digoyang-goyangkan. Mereka mengecek, masih kuat tidak aku dijemur dan menjadi tempat tinggal burung kesayangan mereka.