Lihat ke Halaman Asli

Yudha Adi Putra

Penulis Tidak Pernah Mati

Obat Panu

Diperbarui: 21 Desember 2022   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Obat Panu

Cerpen Yudha Adi Putra

"Pak, lain kali kalau jalan hati-hati. Udah tahu tempatnya ramai, masih aja nyenggol-nyenggol saya," bentak seorang perempuan paruh baya membawa tabung gas warna hijau.

Tiap hari Minggu, terutama pasaran Pon. Heri selalu menyempatkan untuk keliling pasar di dekat terminal Purbalingga.

"Maaf, Bu. Saya tidak sengaja," jawab Heri seperlunya, lalu perempuan itu pergi.

Tak banyak yang tahu tentang harga di pasar ini. Katanya lebih murah, bisa ditawar, dan ada beraneka ragam barang bekas dijual. Tidak jarang, ada polisi yang turut patroli berseragam preman. Maklum, banyak onderdil motor dijual tanpa jelas pemiliknya siapa.

"Panu, kadas, kurap. Semua penyakit bisa sembuh. Hanya dengan sekali oles. Khasiat langsung terasa. Mari-mari. Murah saja. Sehat-sehat. Sehat lebih mahal dari apa saja. Silakan obatnya. Dua puluh ribu dapat tiga," teriak seorang penjual dengan bersemangat.

Dua hari yang lalu, berawal dari keluhan teman kerjanya soal bintik-bintik putih di lengan Budi, Heri yang melewati pedagang itu tiba-tiba mendekat untuk obat panu seperti apa yang dijualnya.

Sebagai seorang sopir taksi, penampilan cukup penting. Penumpang bisa risih kalau melihat bintik panu di lengan. Kesadaran itu juga muncul dari Heri. Ia juga teringat ejekan yang diterima kawannya, Budi.

"Cara pakainya, bagaimana Pak?" tanya Heri.

"Cukup dioleskan saja pakai kapas. Sehari dua atau tiga kali. Nanti akan mengelupas dan sembuh. Kulit bebas penyakit. Bebas panu," jelas pedagang itu meyakinkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline