Esais dan Esai yang Terakhir
Cerpen Yudha Adi Putra
Seharusnya aku tidak menyindirnya kala itu. Mungkin ada benarnya, Yudha mengatakan kalau dirinya seorang penulis, tapi buku sebagai bentuk karyanya tidak ada. Wajar saja bukan, kalau orang awam seperti diriku bertanya-tanya. Bagaimana dia bisa meyakinkan orang lain dan mengatakan dirinya sebagai penulis yang tidak punya karya. Dasar aneh.
Namun, setiap kali aku melihat kesombongannya, seketika hasrat ingin mengkritiknya menjadi muncul. Entah dalam cara halus atau dengan cara terang-terangan berkomentar. Apakah benar ia seorang penulis ? Bahkan esais ? Atau hanya aku sendiri yang meragukannya dan merasa penting untuk dia membuktikan keberadaan karyanya ? Ah, selalu saja pertanyaan itu muncul ketika mengetahui Yudha mengatakan kalau dirinya penulis di depan banyak orang.
Tapi ada baiknya aku memastikan bahwa dia benar-benar penulis. Buka tanpa maksud, aku tidak ingin banyak orang kagum dengan bualannya yang tanpa bukti. Belum soal kata penyemangat bahwa penulis tidak pernah mati. Itu menyebalkan sekali. Sore nanti, aku akan bertemu dengan Yudha dan beberapa teman lain di angkringan.
Mungkin, tempat itu akan menjadi ramai dengan bualannya. Bualan yang mengatakan kalau Yudha seorang penulis hebat, ada karya dimana-mana. Tapi, itu semua cuma dikatakan saja. Tidak pernah kami membaca atau melihat karya Yudha di koran atau media, bahkan dalam buku tidak ada. Rasa percaya dirinya memang patut diapresiasi, tapi kalau berlebihan itu menjadi menyebalkan sekali.
"Aku ingin bertemu beberapa esais, dalam waktu singkat aku ingin membuat kado berupa kumpulan esai. Jadi, ada rencana untuk membuat buku kumpulan esai. Yudha, kau sering mengatakan bahwa dirimu penulis, bagaimana jika ada tulisanmu dalam kumpulan esai yang menjadi kado milikku itu. Kebetulan, aku belum pernah mengetahui dimana buku yang memuat karyamu.
Karya esaimu sepertinya menarik jika ada dalam buku. Itu akan bermanfaat." Ujarku pada Yudha. Ketika itu, ia habis menceritakan soal tulisannya mengenai pertumbuhan penduduk dan minimnya minat membaca masyarakat. Tentu, banyak orang di angkringan menjadi heran. Apa sebenarnya yang diharapkan dari Yudha.
"Kebetulan sekali itu, nanti kita bisa usul esais-esais hebat untuk menulis dan mungkin saja esai dari Yudha menjadi esai yang terbaik. Bisa juga, esai tulisan Yudha menjadi kumpulan esai dalam buku yang manis. Bagaimana Yudha, percakapanmu tentang tulisan bisa dijadikan buku, bukankah itu menarik ?" ujar Pak Tomi pemilik angkringan.
Mungkin Pak Tomi juga merasakan kesal, setiap datang ke angkringannya. Yudha selalu saja berbicara soal tulisan dan dirinya yang menjadi penulis. Tetapi, semua itu seperti berbohong saja karena tidak ada buktinya. Kesempatan itu dijadikan sebuah tantangan pembuktian bagi mereka yang mendengarkan cerita Yudha, bahwa Yudha mengaku sebagai seorang penulis.
Aku tidak tahu yang ada dalam pikirannya Yudha. Dia hanya diam. Sorot mata yang menjadi jendela hati manusia paling jujur juga tidak nampak. Yudha memalingkan pandangannya, asyik merokok. Mungkinkah yang dipikirkan Yudha soal keuntungan ? Ingin populer karena cepat karena menulis atau ingin tulisannya dikenang banyak orang. Dia hanya terdiam, masing-masing yang ada di angkringan membawa pandangannya soal kenapa Yudha menjadi diam.