Klithih dan Romantisasi Hidup di Yogyakarta
@perlukuan
Seorang penyair bernama Joko Pinurbo pernah mengatakan kalau Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Yogyakarta juga menjadi magnet tersendiri bagi generasi milenial.
Kota Jogja memiliki sebutan kota pelajar karena banyaknya pelajar dengan semangat untuk menempuh proses pembelajaran di Yogyakarta. Perkembangan terus terjadi yang memunculkan berbagai julukan manis bagi kota dengan biaya hidup rendah ini.
Namun kenyataan, untuk beberapa bulan ini sedang ada masalah besar dalam harmoni hidup di Yogyakarta, yaitu klithih. Klithih menjadi akronim dari "keliling golek getih", atau dalam bahasa Indonesia "keliling mencari darah". Salah satu bentuk kejahatan jalanan yang terjadi di Yogyakarta.
Padahal banyak orang yang merasa betah dan nyaman ketika hidup di Yogyakarta. Sebagaimana pendapat perantau, mereka merasa rindu dan kangen ketika sudah kembali ke daerahnya. Ada keinginan untuk hidup di Yogyakarta di hari tuanya.
Dari gambaran tersebut, ada banyak potret kehidupan di Yogyakarta yang sah saja ketika direfleksikan. Kota dengan banyak julukan ini memiliki keberagaman dalam dinamikanya.
Pembelajaran mengenai toleransi, keramahtamahan, sopan santun, dan dapat hidup dengan nyaman karena harga kebutuhan sehari-hari murah. Bahkan, makanan dapat mudah dijumpai dan dibagi-bagikan dalam momen tertentu.
Potret Yogyakarta yang beragam tentu menjadi tanggung jawab bersama, terutama untuk merespon adanya klithih. Pemeriksaan terhadap kehidupan komunitas dan nilai yang dihidupi perlu diintensifkan, apalagi mereka yang datang dari luar daerah.
Lebih khusus lagi, pada masyarakat lokal dengan hibriditas mereka terkait nilai kehidupan dan memanusiakan manusia. Sehingga fenomena klithih yang sempat merusak citra romatis Yogyakarta dapat direspon bersama.
Lebih dari itu, persoalan bukan hanya pada siapa yang tinggal di Yogyakarta. Tetapi, bagaimana hidup bersama dalam keberagaman di Yogyakarta.