Lihat ke Halaman Asli

Huzer Apriansyah

Pada suatu hari yang tak biasa

Tsunami, Hamzah Fansuri dan Arogansi Manusia (Refleksi 7 Tahun Tsunami)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_150584" align="aligncenter" width="650" caption="Sisa kedahsyatan Tsunami Aceh/doc@huzera"][/caption]

Ahad pagi, penghujung Desember tujuh tahun silam dunia terhentak. Gempa besar diikuti air laut bergelombang tinggi menghantam daratan. Tercatat, lebih dari 200 ribu korban jiwa. Kalau korban harta tak terhitung jumlahnya. Gempa dan tsunami di Samudera Hindia itu membuat kita semua tersadar betapa dahsyatnya alam. Tiada kuasa kita melawan. Tragedi ini telah tercatat sebagai salah satu maha bencana terbesar yang dihadapi umat manusia. Teringatlah kita, ketika itu, negeri kita bersatu menghadapi penderitaan saudara-saudara kita di Aceh dan juga Nias. Semua lapisan memberikan kontribusinya tanpa henti. Jalanan di kota-kota besar dipenuhi oleh aksi solidaritas pengumpulan bantuan, begitupun semua media baik cetak maupun elektronik tiada henti mengumpulkan bantuan. Sungguh suatu masa yang membuat kita menangis pedih sekaligus bahagia. Pedih, menyaksikan penderitaan korban, pedih melihat dahsyatnya "pertanda" alam. Namun, di saat bersamaan kita bahagia, karena umat manusia dengan beragam latarnya berjabat tangan erat mengupayakan perbaikan di lokasi-lokasi bencana. Puluhan negara menyalurkan bantuannya ke Aceh, ratusan lembaga internasional bekerja bersama memulihkan Aceh. Terkenang Hamzah Fansuri Kini Aceh telah pulih, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan bagaimana proses tumbuh kembalinya Aceh. Tak semua kisah kembali tumbuh itu indah berseri dan gilang gemilang. Ada pula kisah-kisah sedih yang menyertainya. Beberapa keluarga yang sampai detik ini belum mendapatkan hak-haknya, masih harus berjibaku hidup di barak-barak pengungsian. Padahal di saat yang sama ada satu keluarga yang menerima lebih dari satu rumah bantuan. Perubutan tahta kuasa di Acehpun masih bergelora. Tak jarang granatpun meledak mengiringi "pesta" pemilihan kepala daerah. Belum lagi kisah "hitam" penyalahgunaan dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi yang tak pernah ada titik terangnya. Membincang Aceh, sama asyiknya dengan membaca karya-karya indah Hamzah Fansuri yang mahsyur itu. Syair Perahu Hamzah Fansuri yang sarat nilai sufistik nan kontemplatif itu seolah menjadi "early warning" bagi kita penghuni dunia. Coba nikmati sejenak sepenggal syair "Perahu" berikut ; Wahai muda kenali dirimu, ialah perahu tamsil tubuhmu, tiadalah berapa lama hidupmu, ke akhirat jua kekal diammu. Hai muda arif-budiman, hasilkan kemudi dengan pedoman, alat perahumu jua kerjakan, itulah jalan membetuli insan. Perteguh jua alat perahumu, hasilkan bekal air dan kayu, dayung pengayuh taruh di situ, supaya laju perahumu itu.. Alangkah indah dan dalam makna syairnya. Ratusan tahun dari masa syair itu dikarang, substansinya tak pernah lekang. Karya yang mencubiti keangkuhan kita sebagai manusia. Kita yang Masih Arogan pada Alam Mengenang tujuh tahun bencana besar di Aceh itu, semestinyalah bisa merapatkan hati kita pada kesadaran transendental akan ketakberkuasaan kita pada alam. Jadi sungguh tak masuk akal jika kita manusia, menjadi begitu angkuh kepada alam. Hutan disapu dengan nafsu, bumi digali hingga jauh berbekal keserakahan, udara kita kotori semena-mena dan hewanpun kita anggap musuh. Tak cukupkah alam mengirim isyarat kepada manusia; bajir bandang, longsor, gempa, bahkan tsunami adalah bahasa alam kepada kita. Betapa tak ada apa-apanya kita, manusia. Sejarak waktu yang belum jauh, kita sudah lupa. Tsunami dan gempa di Aceh itu kita anggap sekedar sebagai bencana semata. Tak banyak yang mencoba menangguk makna dibalik "bahasa" alam itu. Negeri kita tak kunjung belajar. Tahun 2010 saja, berdasar data departemen kehutanan sekitar 1,07 juta hektare lahan hutan kita mengalami degradasi. Arogansi manusia atas alam memang telah menjadi kenyataan keseharian kita. Lhan-lahan baru pertambangan terus saja dibuka, eksploitasi hutan-hutan perawanpun terang-terangan maupun "gelap-gelapan" tetap berlangsung. Maka, jangan salahkan alam ketika sesekali mereka menyaurakan bahasa mereka, melalui bencana. Tsunami di Aceh tujuh tahun lalu, memang tak secara langsung berkait dengan perilaku arogan manusia, tapi paling tidak itulah bentuk bahasa alam dimana tiada kuasa, manusia menahannya. Layaknya syair "Perahu" milik Hamzah Fansuri, kita hidup di dunia hanya sejenak saja. Mengapa tak kita tinggalkan anak cucu kita alam yang baik buat mereka. Alam yang tak kita jarah dengan semena-mena. Semoga saja, anak cucu di negeri ini masih bisa menyaksikan hutan-hutan perawan tetap menjulang dengan keragaman ekosistem di dalamnya.

[caption id="attachment_150585" align="aligncenter" width="650" caption="Rakit, transportasi andalan di beberapa pelosok Aceh pasca Tsunami/doc@huzera"][/caption]

Note : Opini ini adalah opini bertema lingkungan, tapi dirubrikasi "Green" tak ada kanal yang pas. Penghijauan, Iklim dan Polusi gak pas untuk opini ini. Harusnya adasub kanal "Sosbud Lingkungan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline