Lihat ke Halaman Asli

Huzer Apriansyah

Pada suatu hari yang tak biasa

Blusukan di Hutan Berujung di Jerman...

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_143995" align="aligncenter" width="640" caption="Jembatan Cibun/doc@huzera"][/caption]

Bermula di Hutan Kaki Gunung Slamet..

Bermula dari sebuah perjumpaan dengan komunitas masyarakat di kaki Gunung Slamet pada tahun 2002, Grumbul Cibun nama daerahnya. Kala itu, untuk mencapai Cibun yang berjarak sekitar 30 KM dari Purwokerto aku dan kawan-kawan hanya bisa membawa kendaraan roda dua sampai ke desa terdekat, Rabuk. Dari Rabuk hanya bisa jalan kaki. Beratnya lagi, kamipun harus menyeberangi Sungai Logawa hanya mengandalkan kawat sling.

[caption id="attachment_144004" align="aligncenter" width="334" caption="Jembatan Cibun sbelum dibagun../dok. pribadi"][/caption]

Grumbul adalah sebutan khas Banyumas untuk menyebut komunitas masyarakat yang biasanya terpisah dan hanya terdiri dari jumlah kepala keluarga yang kecil. Bisa dibilang satu tingkat di bawah dusun. Perjumpaan demi perjumpaan membuat aku jatuh hati pada Cibun.

Sampai pada suatu ketika kami membicarakan sebuah usaha untuk menghadirkan sebuah jembatan permanen bagi warga Cibun. Jembatan yang bisa membuat mereka aman dan nyaman melintasi Sungai Logawa yang berarus deras itu. Sudah banyak korban jatuh karena jembatan bambu yang mereka buat selalu keli (hanyut) jika musim hujan tiba. Sekolahpun menjadi tak mudah bagi anak-anak Cibun.

Lokasi Cibun yang ketika itu terisolir, dua jam berjalan kaki ke pusat desa Sunyalangu (Cibun bagian dari Desa Sunyalangu-Karang Lewas), atau jika lewat desa tetangga mereka harus menyeberangi Logawa. Jadilah anak-anak Cibun biasanya berhenti usai SLTP atau SD. Di Cibun hanya ada SD ‘kecil’, artinya SD tersebut masih menginduk ke SD yang lebih besar. Gurunyapun kebanyakan pendatang dari Purwokerto kadang datang, kadang tidak.

***

Perjumpaan-perjumpaan itulah yang mengikat hatiku di Cibun. Setelah setahun berjuang, lewat beragam cara. Akhirnya pemerintah Kabupaten Banyumas membangunkan sebuah jembatan merah gagah bagi warga Cibun. Tak sedikit usaha warga Cibun guna menghadirkan jembatan itu; Mereka sumbangan untuk membuat jalan setapak menuju sungai, kami  berdemo di gedung dewan, kami juga mendatangi media untuk meminta dukungan.

[caption id="attachment_143996" align="aligncenter" width="489" caption="Ketika peresmian jembatan oleh wakil ketua DPRD Banyumas, penulis yang paling kiri (dok. pribadi)"][/caption]

Akhirnya mimpi panjang warga Cibun terwujud. Jembatan Cibunpun hadir, tak ada lagi resah dan was-was kalah arus Logawa bergejolak.

Itulah awal mula ‘kisah cintaku’ di Cibun. Berpuluh kisah tertoreh, beragam kceritapun hadir di kampung hutan itu. Hampir tiap minggu aku kesana, dari sekedar bercanda-canda dengan warga sampai keluar masuk hutan disana. Aku belajar banyak hal disana, belajar keragaman spesies yang hidup di hutan. Bahkan, aku dan warga pernah melihat langsung seekor harimau Jawa (Panthera tigris sondaica). Padahal spesies ini sudah dianggap punah.

[caption id="attachment_143997" align="alignleft" width="300" caption="Jalan setapak yang dibangun swadaya oleh warga Cibun/dok@huzera"][/caption]

Semakin mengerti aku akan keragaman hayati disana. Akibat kerap makan tumis pakis, akupun mengenal beragam jenis pakis-pakisan di hutan kaki Gunung Slamet, aku mempelajari anggrek hutan, mengenali elang jawa dan berbagai hal yang jauh dari latar belakang sekolahku yang ilmu politik.

Warga Cibun adalah guru bagiku, mereka mengajariku bagaimana hidup bersenyawa dengan alam. Mengambil secukupnya dari alam dan merawat sekuatnya. Prinsip mereka, mengambil dari alam maka kitapula yang harus merawat alam itu. Akibat kerapnya aku belajar di Cibun, sekolahku tak kunjung rampung. Beruntung, memiliki kawan-kawan yang selalu memimjamkan catatan tiap ujian menjelang.

Hari-hari di Cibun adalah hari-hari indah dalam hidupku. Lepas dari hiruk pikuk, menikmati senandung alam

[caption id="attachment_143998" align="alignright" width="300" caption="Purwokerto dilihat dari Cibun/doc@huzera"][/caption] , menjalani laku sederhana ala Cibun, sungguh sebuah harmoni yang mungkin tak akan pernah kutemukan lagi. Empat tahun bergelut di Cibun membuatku sudah seperti warga.

Berujung di Jerman..

Tibalah suatu hari, terdengar bisik-bisik dari pihak kampus bahwa ada pemilihan duta muda lingkungan yang diselenggarakan oleh United Nations for Environmental Program dan Bayer Corporation. Berbekal pelajaran-pelajaran di Cibun, nekad saja kudaftarkan diri. Meski setengah ragu, akhirnya pihak kampus menyetujui. Kebetulan memang aku suka ikut lomba-lomba menulis dan sesekali sempat pula juri-juri ‘khilaf’ memberi kemenangan padaku.

Kukirimkan saja aplikasi untuk ikutan pemilihan duta lingkungan itu. Bukan sesuatu yang keren sih di mata anak muda, apalagi saat itu sedang top-topnya AFI dan berbagai ajang idol. Jauh dah dari mentereng. Seiring waktu, akupun lupa kalau pernah ikutan kompetisi itu. Berminggu-minggu tak ada kabar. Ah, gagal pikirku. Lagian tak merasa cukup layak untuk  jadi duta lingkungan..sudahlah !

Siang itu usai pulang dari Cibun, karena niatnya mau mengadakan kegiatan bersama anak-anak Cibun. Tiba-tiba saja, dapat telpon dari nomor tak dikenal berkode area Jakarta, muncullah suara di ujung sana “Apakah ini Saudara Huzer Apriansyah ?” “Iya jawabku..” “Kami dari panitia Bayer Young Environmental Envoys, mengucapkan selamat anda lolos ke babak semifinal. Kami akan mengirimkan surat resmi ke kampus anda dan akan mengundang anda mengikuti sesi wawancara di Jogjakarta….”

Tak bisa berkata-kata, hanya bersyukur. Bermodal nekad ada saja hasilnya. Singkat cerita, tibalah hari wawancara itu. Semakin minder rasanya, lihat peserta lainnya, super-super. Oh iya untuk fase wawancara ini diikuti 35 peserta dari sekitar 500an yang mendaftar. 35 orang itu dibagi dalam 3 grup, ada yang diwawancarai di Jogja, Bandung dan Jakarta.

Di grup Jogja ada sekitar 10 yang diwawancara, semua mereka datang dengan latar belakang lingkungan yang kuat. Ada yang dari Fakultas Kehutanan UGM, Teknik Lingkungan Undip, Kelautan Undip, Universitas Brawijaya dan sebagainya. Sedang aku, datang dari kampus mungil yang kadang banyak orang masih gak tahu bahwa kampusku itu kampus negeri. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) namanya…

Ya…jujur saja agak minder..bukan karena kampusku tak terkenal, tapi karena modalku berkompetisi pas-pasan…

Seminggu usai wawancara aku kembali dihubungi panitia, aku masuk final. Wah…sungguh kesempatan yang luar biasa dan tak terduga. Akhirnya bersama 13 orang finalisnya lainnya kami mengikuti Eco camp di Lembang, Jawa Barat. Usai Eco camp kami mengikuti sesi penilaian di Jakarta. Hanya empat saja yang akan terpilih menjadi duta muda lingkungan dan mewakili Indonesia ke Jerman.

Hah…sampai sejauh ini saja aku sudah senang alang kepalang. Tak terlintas di kepala bisa jadi pemenang. Finalis lainnya menurutku sosok-sosok terbaik. Mereka datang dari ITB, IPB, UNHALU, UNDIP, UI dan berbagai kampus TOP lainnya. ITB meloloskan finalis terbanyak.

Di hadapan pakar-pakar lingkungan kami di uji. Kuingat salah satunya ada Pak Hendri Bastaman dari KLH dan Ibu Aulia seorang senior environmental educator. Kujawab hujaman pertanyaan mereka setahuku saja. Sebelum ditanyai, kami diberi kesempatan mempresentasikan pengalaman kami di bidang lingkungan dan mimpi kami ke depan. Ya, karena pengalamanku gak banyak, yang kuceritakan ya seputar Cibun dan Cibun…Sampai juri-juri itu memanggilku Mas Cibun, karena keseringan aku menyebut Cibun..:)

Malamnya pengumuman tiba, di salah satu ruangan megah di Hotel J.W. Marriot acara dilaksakan. Inilah salah satu malam bersejarah dalam hidupku..Juri mengumumkan bahwa saya bersama tiga orang rekan saya; Yuli dari UGM, Amar dari Univ. Haluoleo, dan Ito dari Unpad. Terpilih menjadi Bayer Young Environmental Envoys tahun 2004, selanjutnya kami akan diberi kesempatan menghadiri puncak acara lingkungan hidup bagi pemuda yang digelar UNEP dan Bayer di Leverkusen Jemarn.

[caption id="attachment_144000" align="aligncenter" width="650" caption="Para duta muda lingkungan dari berbagai negara berkumpul di Jerman/dok pribadi"][/caption]

***

Akhirnya aku berkesempatan menapaki Eropa, melihat dari dekat bagaimana teknologi lingkungan berkembang disana dan bagaimana negara melakukan upaya yang keras dalam melimitasi dampak pemanasan global disana.

[caption id="attachment_144001" align="aligncenter" width="650" caption="Di atas kapal riset di Sungai Rhein/dok.pribadi"][/caption]

[caption id="attachment_144002" align="aligncenter" width="650" caption="ki-ka (Mas Sidik-wartawan kompas, Amar, Ibu Rani-manajer Bayer, Yuli dan saya)"][/caption]

Ini adalah salah satu turning point dalam hidupku. Bermula dari blusukan (keluar masuk) hutan akhirnya berujung di Jerman. Tak hanya itu, momen-momen ini akhirnya mendorongku menekuni dunia konservasi. Cibunlah kampusku sesungguhnya...

Usai lulus dari Unsoed akhirnya aku menggeluti dunia konservasi, sempat menjadi relawan di lembaga konservasi WWF, pernah pula menjadi staf komunikasi di WWF. Pada akhirnya perjalanan ini membuatku yakin bahwa, tak ada hal yang tak mungkin dalam hidup. Selama semangat dan kesungguhan ada, semuanya mungkin saja terjadi..

#Note : Tulisan mungil ini dibuat untuk berpartisipasi dalam obrolan freez bertema Prestasi…Semoga kompasianers berkenan..! Jika dirasa terlalu narsis mohon dimaafkan..Semoga ada pesan yang bisa didapat dari sharing kisah lama ini...

salam

Beberapa liputan media untuk ajang ini ketika itu :

1. Tabloid Nova

2. Majalah Tempo

3. Asianews




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline