Lihat ke Halaman Asli

Huzer Apriansyah

Pada suatu hari yang tak biasa

Kalaulah Kita Kalah (Jelang Semifinal Sepakbola SEA Games)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kolom bola oleh Huzer Apriansyah a.k.a Kibas Ilalang

Selalu ada drama dalam sepakbola. Nilai dramatis itulah yang membuat sepakbola berbeda. Saya menyebutnya “nilai kejut”, itulah indahnya sepakbola. Pada level negara, sepakbola telah menjadi semacam pengganti medan perang. Sepakbola kemudian beririsan dengan spirit nasionalisme sebuah bangsa.

Nasionalisme, dalam konsepsi Dr. Frederick Hertz merupakan representasi dari paling tidak empat hal. (1) Hasrat untuk mencapai kemerdekaan (2) hasrat untuk mencapai kesatuan, (3) Hasrat untuk mencapai kehormatan, (4) Hasrat untuk mencapai keaslian.

Dalam konteks definisi inilah sepakbola seolah menjadi ruang bagi perwujudan nasionalisme sebuah bangsa. Sepakbola adalah hasrat bersama untuk meraih kemenangan. Sepakbola membawa sebuah bangsa bersatu, seberapa pluralnya sebuah bangsa, dalam sepakbola mereka satu. Sepakbola  juga menjadi ruang sebuah bangsa mencapai kehormatan. Ingat Argentina di era 80-90an, sedemikian rapuh negeri itu, hutang nasional mereka nyaris tak terbayar. Diancam kebangkrutan, tapi sepakbola menjadi penyelamat kehormatan Argentina kala itu. Sepakbola juga telah menjadi ruang mewujudkan keaslian kultural sebuah bangsa. Lihatlah bagaimana vuvuzela menjadi brand mark Afrika Selatan di piala dunia lalu.

[caption id="attachment_143300" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi/doc@huzera"][/caption]

***

Indonesia, tak luput dari dinasti 'perang baru' bernama sepakbola itu. Seberapa buruknya prestasi kita, tetap saja kita selalu ada di balik tim nasional kita. Garuda, entah itu senior maupun yuniornya. Akhirnya, termaktublah sebuah slogan yang menjadi representasi rasa satu itu, Garuda di dadaku ! Ribuan suku dan etnispun melebur dalam sebuah parade kolosal nan panjang bernama sepakbola.

Hari ini, adalah sebuah titik dari kumpulan ribuan titik lainnya yang membentuk sebuah garis. Garis sejarah sepakbola kita. Teorema titik-titik itulah yang menjadi pegangan kita rakyat Indonesia dalam mengapresiasi tim nasional kita.

Banyak raut jelang laga semifinal hari ini; Ada yang acuh saja, ada yang tak berharap banyak karena lelah kecewa, ada yang rela berjalan berkilo-kilometer menuju GBK, tak sedikit pula yang meninggalkan rumah di sudut-sudut nusantara mengayun langkah ke ibukota demi laga malam nanti.

Tentu saja ekspresi pendukung merah putih ini tak bisa menjadi parameter kondisi negeri. Di balik tawa-tawa riang dan gejolah asah itu tetap saja tersimpan beragam kisah duka yang meliputi nusantara. Sepakbola ibarat penawar sejenak atas beragam beban hidup.

***

Di sebuan negeri yang minim kehormatan, tentu saja impian sebagai juara sepakbola, serendah apapun levelnya dapat menjadi pereda luka atas beragam kebusukan yang dilakukan para punggawa dan petinggi negara.

Hari ini garuda muda nusantara akan berjibaku, membawa asah berjuta jiwa rakyat Indonesia. Tak satupun di antara kita yang harapkan kekalahkan, kecuali mereka yang memasang mata dadu atas nama Vietnam. Gejolak telah meledak-ledak, harapan membumbung tinggi.

Sekali lagi saya ingatkan sepakbola tetaplah sebuah permainan, dimana kekalahan dan kemenangan itu berhimpit tipis. Kadang hanya dipisahkan oleh sebuah kata; keberuntungan. Karena itu berani mencintai sepakbola, harus berani menerima kekalahan dan kemenangan. Sesakit dan sepedih apapun luka itu.

Kalaulah Kita Kalah...

Bersiap untuk sebuah pesta kemenangan, tentu bukan perkara susah. Namun untuk sebuah “pesta” kekalahan, hanya sekelompok kecil saja yang siap kurasa. Pesta kekalahan selalu bertabur airmata, caci maki dan kesedihan panjang. Panorama pedih beriring lagu duka akan menjadi nuansa utama pesta kekalahan.

Bagi saya, kemenangan itu adalah sebuah konsekuensi saja. Konsekuensi dari sebuah proses; kecintaan, kebersamaan dan keceriaan dari sebuah tim. Hari ini, tim-tim itu dihuni oleh anak-anak muda yang mewakili keragaman nusantara. Sinaga dari Sumatera, Wanggai, Okto, Tibo, Lukas Mandopen dari Papua, Ramdani Lestaluhu dari Maluku, Kurnia Meiga, Gunawan, Hendro dari Jawa dan sebagainya dan sebagainya. Mereka datang tidak untuk mengibarkan panji-panji suku atau daerahnya.

Mereka hadir untuk sebuah nama, nusantara, Indonesia. Sesuatu yang basurd. Benedict Anderson menyebut nasionalisme sebanding dengan komunitas imajiner. Kita dipersatukan oleh konsepsi imaji itu. Indonesia itu adalah imaji. Menghadirkannya dalam realitas adalah tugas kita semua. Karya, dedikasi dan kesabran kita menjadi garda menghadirkan imaji itu menjadi realitas.

Untuk itulah, apapun yang akan terjadi nanti. Menang atau kalah kita tak boleh marah-marah. Sekedar kesal sesaat tak apalah, ingat sesaat saja. Sekesal apapun kita menanti sebuah kemenangan a.k.a kehormatan negeri di lapangan hijau yang tak kunjung datang tetaplah tak lantas kita harus memaki-maki.

Pemain, pelatih dan semua komponen tim tentu menjadi pihak yang paling terpukul jika kita kalah nanti. Jadi, jangan kita timpuki lagi dengan kemarahan, caci maki dan prasangka-prasangka kita. Marahlah saja dengan berdoa…

Tentu tak mudah untuk tak marah, saat harapan besar yang menggantung di tingginya awan tiba-tiba meluncur deras menghujam bumi. Karenanya harapan besar itu digantunglah sewajarnya saja. Kalaupun nanti harus menghujam bumi tak akan sakit betul dan hancur lebur.

Langkah terbaik bagi kita adalah menikmati tiap menit laga itu tanpa berhenti berteriak, bertepuk dan bernyanyi. Seraya berdoa bagi timnas kita.

Satu hal pula, sepakbola adalah permainan. Keceriaan dan kebahagiaan adalah ciri dari sebuah permainan. Jangan sampai kita perlakukan Vietnam secara tak bermartabat. Hargai lagu kebangsaan mereka, dengan hening sejenak. Berikan kesempatan mereka merenungi dan menikmati nasionalisme mereka. Jangan kita lempari pemain atau pendukung mereka, karena posisi kita sama. Mereka tengah berjuang untuk kehormatan negerinya, demi “kemerdekaan” negerinya, demi persatuan negerinya dan demi semangat keaslian bangsanya.

Sebagai pendukung, mari kita bertarung dengan ksatria. Ksatria itu menang tanpa harus menghancurkan, dan kalah dengan kepala tegak karena telah berjuang hingga bulir keringat terakhir. Kemenangan dalam sepakbola kadang tak selalu menjadi kemenangan sejati. Lihatlah banyak negeri yang menjadi juara tapi dunia tak kagum pada mereka, karena kemenangan diraih dengan menggunakan segala cara, tak peduli cara itu melukai keadilan dan menjungkirkan peraturan.

Banyak kisah negara yang menjadi juara tapi mereka sesungguhnya kalah. Saya tak hendak menyebut negara-negara yang juara tapi kalah itu. Silahkan saja ingat-ingat sendiri..!

Akhirnya, kita semua sangat ingin kemenangan itu ada di pihak kita hari ini. Sesulit apapun itu, asah tak boleh surut. Namun, kalaulah kita kalah, kalahlah sebagai ksatria, terutama bagi pendukung garuda…

Pendukung yang ksatria itu ada bersama tim kecintaannya dalam kemenangan yang membanggakan dan ada pula manakala tim itu terpuruk dalam kekalahan. Memberi semangat bagi mereka, meski kitapun terluka...

Menanglah sebagai ksatria dan kalahlah sebagai ksatria !!

Selamat menikmati tiap menit perjuangan laskar garuda muda !!

Sumber bacaan :

http://www.jstor.org/pss/2144525

http://en.wikipedia.org/wiki/Noreena_Hertz

http://www.scribd.com/doc/44206062/Pengertian-Nasionalisme




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline