Lihat ke Halaman Asli

Huzer Apriansyah

Pada suatu hari yang tak biasa

Sisi yang Tak Terulas dari Timnas U-19

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sebagai bangsa, kita sudah lama punya mimpi memiliki sebuah tim nasional sepakbola yang kelasnya dunia. Tapi apa daya mimpi kita masih menggelayut, kegagalan demi kegagalan jadi catatan dua dasawarsa belakangan. Meski demikian, kita tak lelah bermimpi.

Asa seolah mendekati nyata, manakala di penghujung 2013 kita menyaksikan sebuah tim yang berisi anak-anak muda berseragam garuda mengamit piala, meski bukan ajang senior, tapi tropi juara U-19 menjadi pelega dahaga. Penantian yang panjang untuk sebuah tropi akhirnya kabul juga. Tak berselang lama, tiket otomatis ke Piala Asia usai melumat Korea Selatan di partai penentu menjadi pelengkap kisah anak-anak berseragam merah tersebut.

Mukhlis Hadi Ning, Evan Dimas, Ilham Udin, Faturrahman dan kawan-kawan segera saja menjadi buah bibir seantero negeri. Banyak sudah tulisan yang mengulas sepak terjang anak-anak muda berseragam merah di bawah asuhan pelatih Indra Syafri itu. Bahkan dua buku menjadi saksi perjalanan mereka. Saya tak akan mengulas perjalanan mereka atau membahas tiki taka ala timnas U-19, saya justru menemukan beberapa hal yang menarik dari tim ini, yang mungkin luput diulas.

Kebiasaan Cium Tangan Pelatih

Mungkin luput dari perhatian kita, tiap kali ada pemain yang keluar lapangan maupun masuk lapangan, mereka selalu mencium tangan Indra Syafri, sang pelatih. Baik di pertandingan resmi maupun ujicoba hal ini terjadi.

Layaknya seorang anak kepada ayah, itulah yang kurasakan dari layar kaca. Jarang sudah kita melihat pemain bola mencium tangan pelatihnya. Lalu sang pelatih membalas dengan mengusap kepala, atau menepuk bahu bahkan terkadang memeluk pemainnya. Ah, sungguh sudah jarang melihat hal-hal macam itu di sepakbla hari ini. Kalaupun ada sebatas salam tempel atau toss saja.

Inilah yang membuat tim ini berbeda, ada nuansa kekeluargaan yang kental. Anak menghormati orang tua, orang tua menyayangi anak. Klise memang, tapi hal-hal yang klise kadang dirindukan. Pada titik ini, pelatih yang merangkap sebagai “ayah” berpeluang mengenali pemain tidak hanya dari sisi skills atau teknik tapi juga dari sisi emosional.

Awalnya, saya menduga kebiasaan ini karena usia mereka yang masih relatif muda, sehingga mencium tangan pelatih merupakan hal yang biasa mereka lakukan terhadap orang tua. Tapi setelah memperhatikan pemain-pemain muda Indonesia lainnya di tur nusantara, tak banyak yang melakukan hal serupa. Akhirnya, saya berkesimpulan tim ini memang terbangun dengan banyak aspek. Moralitas menjadi salah satu aspek tersebut.

Selebrasi Gol yang Itu-itu Saja

Perhatikan saja selebrasi tim ini saat mencetak gol, entah siapapun yang mencetak gol, ending selebrasinya selalu ke pinggir lapangan dan sujud syukur. Awalnya saya menilai ini kebetulan saja. Tapi setelah lebih dari sepuluh kali menyaksikan timnas U-19, saya sadar bahwa ini lebih dari sekedar kebetulan, tradisi.

Lantas, selebrasi ini simbol apa ?  Dimensi religiositas anak-anak berseragam merah. Cermin rasa syukur, sekaligus penyerahan diri pada Sang Maha. Apa gunanya hal macam ini dalam sepakbola yang sepenuhnya bergantung pada teknik, taktik, kekuatan, dan kecepatan. Sisi psikologislah yang terpengaruh dengan kebiasaan ini. Perasaan selalu ada kekuatan yang lebih besar di atas kekuatan manusia. Membuat ada invisible hand yang diyakini akan jadi salah satu faktor kunci.

Pada sisi lain, kondis sepakbola Indonesia yang karut marut, membuat kita telah terbiasa menjadi inferior. Maka hadirnya kekuatan Tuhan di tengah lapangan bisa menjadi semacam kekuatan tersendiri. Lihat saja apa yang dikatakan kapten timnas U-19, Evan Dimas “Hanya Tuhan yang tak Bisa Dikalahkan”.

“Hanya Tuhan yang Tak Bisa Dikalahkan”

Kalimat di atas adalah ucapan sang kapten, Evan Dimas. Ucapan yang menurut saya memiliki kedalaman. Kalimat yang tak hadir begitu saja, melainkan lewat semua permenungan. Mentalitas inferior yang selam ini merajami timnas kita, tiba-tiba mendapat pelawanan dari kalimat Evan Dimas.

Kalau akan menghadapi Kamboja, Brunai atau Timor Leste kita akan sangat yakin, kemenangan akan datang. Tapi kalau sudah akan bertemu tim macam China atau Thailand saja, alih-alih meyakini kemenangan, tidak dibantai saja kita sudah senang. Itulah inferiornya kita.

Tapi kalimat yang diungkap Evan, bukan tanpa syarat. Toh, Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Begitu pun timnas kita; fisik, teknik, intelegensia adalah sarat dari berlakunya kalimat di atas. Kalau dulu menit 70an pasukan merah putih sudah mulai sempoyongan, kini hal itu tak terasa di timnas U-19. Teknik, belumlah benar-benar teruji, tapi paling tidak, dasar bermain sepakbola mereka meyakinkan. Intelegensia, belum ada hasil uji yang dipublikasikan, tapi dari cara mereka bermain, ada kecerdasan yang ditampilkan.

Lalu yang terakhir adalah mentalitas, pada domain inilah kalimat “Hanya Tuhan yang tak bisa dikalahkan,” menjadi ada maknanya.

Pada sisi lain, sekali lagi pasukan berseragam merah ini tengah menunjukkan relegiositas mereka.

Mengembalikan Filosofi “Bintang”

Sepakbola Indonesia tak pernah sepi bintang, tiap zaman punya bintangnya, dua dekade terakhir sebut saja; Aji Santoso, Kurniawan DJ, Bima Sakti, Bambang Pamungkas, sampai ke generasi Syamsir Alam dan seratus satu bintang lainnya. Mereka bersinar terang di langit gelap.

Berbeda dengan tim nasional U-19 kali ini, bintang-bintang itu semua bersinar. Bukan satu atau dua bintang saja yang bersinar di langit gelap.

Inilah bedanya, langit menjadi terang karena banyak bintang yang bersinar. Memang tak ada bintang yang sinarnya dua tiga kali lebih terang dari yang lainnya, semua bersinar dalam range yang kurang lebih saja.

Benar ada Evan Dimas, tapi sinar kebintangannya tak lebih terang dari Hargianto atau Zulfiandi, benar bahwa Hansamu bersinar terang di lini belakang tapi sinarnya sama terang dengan sinar Faturrahman. Maldini Pali boleh menari-nari hingga sinarnya menerang, tapi bukan berarti Dinan Xavier kalah terang sinarnya, begitu pun yang lainnya.

Indahnya bintang, tatkala langit terang karena kombinasi sinar banyak bintang bukan saat sebuah bintang bersinar terang tapi langit gelap gulita.

***

Pada akhirnya, rakyat di republik ini tengah cerah ceria menyaksikan tiap laga Ilham Udin dan kawan-kawan, ada harapan, ada asa dan ada suka cita. Semoga anak-anak muda ini bisa terus berdiri tegak walau kenyataan kadang bikin sesak...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline