Lihat ke Halaman Asli

Huzer Apriansyah

Pada suatu hari yang tak biasa

Kerentanan Ekologis dan Sesat Pikir Kita

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13947824031457309495

Kerusakan bangsa ini nyaris sempurna.

Ahmad Syafii Maarif



Kerusakan pada pelbagai sendi terjadi dengan kasat mata. Kepemimpinan nasional yang lalai akan nasib rakyat, korupsi yang kian menjadi, korporasi yang abai akan masa depan bumi dan nasib masyarakat, sistem pendidikan nasional yang pucat masai, ancaman disintegrasi yang mengintai serta beragam permasalahan kronis bangsa, seolah menjadi pembenar atas ucapan Buya Syafii.

Bangsa kita yang oleh Arysio Santos (ilmuwan Brazil) diduga sebagai benua Atlantis kaya raya yang hilang itu, ternyata hari ini berkutat dalam beragam permasalahan politik, sosial, ekonomi dan budaya akut. Jauh kisah dari kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan yang menjadi pilar Atlantis yang hilang. Tulisan ini tak akan mengulik semua dimensi permasalahan bangsa, hanya dimensi ekologi akan menjadi fokus dalam tulisan ini.

Pada awal bangsa ini berdiri hingga tahun 80an aspek ekologi bukanlah hal menarik apalagi seksi untuk dibicarakan. Politik kepemimpinan nasional jauh lebih terperhatikan, dilanjutkan kemudian diskursus pembangunan ekonomi yang menjadi primadona. Apalagi setelah Orde Baru (Orba) berkuasa pada 1966, nyaris semua diskursus dan perhatian nasional diarahkan pada pembangunan ekonomi. Ekonomi sebagai panglima, begitulah kira-kira. Celakanya semua bermuara pada satu pola, pembangunan ekonomi yang berbasis pada eksploitasi sumber daya alam (Natural resources based economic).

Aspek ekologi menjadi hal nomor kesekian, terpenting adalah sumber daya alam bisa dikonversi dengan segera menjadi uang. Celakanya lagi trickle down effect yang menjadi azimat orde baru untuk memeratakan kesejahteraan tak kunjung berhasil. Konglomerasi justru tumbuh di tengah keterpurukan ekonomi rakyat. Pertumbuhan ekonomi semu yang telah mengorbankan daya dukung ekologis. Segelintir orang menjadi kaya, tapi rakyat kebanyakan menderita dan daya dukung ekologis luluh lantak.

Tentu saja dampak buruk dari pembangunan model ini tak langsung nampak ketika itu. Baru pada tahun 1990an berbagai bencana ekologis mulai muncul. Ditambah lagi dengan sorotan dunia internasional akan buruknya kondisi hutan kita. Awal 1980an lembaga-lembaga yang konsen dengan isu lingkungan pelan-pelan lahir, meski kendali kekuasaan begitu ketat, tapi hadirnya berbagai lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan paling tidak membuat banyak yang sadar betapa mahal harga yang harus dibayar negeri ini untuk sebuah pembangunan ekonomi semu nan rapuh.

Aspek ekologi baru benar-benar menjadi pehatian setelah kita menyadari bahwa daya dukung ekologis di negeri kita terus menurun, seiring dengan makin seringnya bencana yang datang. Salah satu indokator degradasi ekologis dapat dengan mudah kita lihat dari laju deforestasi.

Tabel 1. Laju Deforestasi Indonesia 1985-2009

1394779943387242439



Sumber : Potret Keadaan Hutan Indonesia 2000-2009, Forest Watch Indonesia, 2009

Dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir, kita kehilangan paling tidak 45,27 juta hektar hutan, jika data terbaru hingga 2013 dirilis, prediksi penulis dengan asumsi laju deforestasi sekitar 1,5 juta pertahun maka paling tidak sekitar 50 juta hektar hutan telah hilang. Di saat yang sama lahan perkebunan sawit mengalami peningkatan yang luar biasa, berikut data luasan perkebunan sawit di Indonesia,

Tabel 2. Perkembangan Perkebunan Sawit di Indonesia

13947800431192579618



Sumber : Diolah dari Basis Data Pertanian/www.deptan.go.id

Grafik 1. Peningkatan Luasan Lahan Sawit 1985-2009

13947801452061642776

Sumber : Diolah dari basis data pertanian/www.deptan.go.id

Angka dan data di atas menunjukkan bahwa daya dukung ekologis kita makin menurun. Tiap hektar hutan kita hilang artinya kita menanggung beban resiko yang meningkat.

Sebagai ilustrasi mari kita lihat grafik peningkatan emisi karbon perkapita penduduk Indonesia,

Grafik 2. Emisi CO2 per kapita penduduk

13947802741008527381



Data-data di atas pada dasarnya menunjukkan pada kita bahwa Indonesia telah berada dalam kerentanan ekologis, akibat makin menurunnya daya dukung ekologis. Permasalahan ini memang tidak bisa dilihat dengan begitu terang benerang seperti fenomena pengangguran atau kemiskinan. Karena kerusakan yang ditimbulkan bersifat jangka panjang dan dampaknya juga tak langsung nampak. Namun, jika kondisi memburuknya daya dukung ekologis ini dibiarkan akan berimplikasi secara luas, baik secara politik, ekonomi, sosial bahkan budaya.

Tawaran-Tawaran Solusi

Rekonstruksi Kebahasaan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945

Bangsa kita secara turun temurun mempercayai Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagai azimat ampuh yang bisa membuat pembangunan nasional menjadi berkeadilan dan ramah lingkungan. Tapi faktanya tak demikian, mengapa bisa ?

Pasal 33 (3), berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Mari kita bedah ayat ini.

Kita mulai dari struktur bahasa. Dalam ayat ini terdapat ambigu, karena subyek kalimat justru berada di tengah. Seharusnya jika mengacu pada Bahasa Indonesia yang baik maka kalimat yang relevan adalah “Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pola kalimat menjadi S-P-O (subyek-predikat-obyek). Bagi penulis ini bukan sekedar masalah ambiguitas kalimat, tetapi sebuah paradok berpikir.

Pertama, ‘penyembunyian’ subyek (negara) di tengah kalimat mengisyaratkan peran subyek tidaklah dominan (aktif) melainkan pasif karena yang muncul adalah kata “dikuasai”. Komposisi kalimat pasif ini mengindikasikan bahwa negara berada pada posisi yang lemah. Maka jangan heran jika kemudian peran negara dalam pengelolaan sumber daya alam sering kalah dari korporasi.

Kedua, rakyat jika dilihat dalam konstruksi kalimat berada sebagai obyek. Tentu saja ini berimplikasi secara politis dan sosial. Rakyat, jika mengikuti logika kalimat maka seharusnya menerima apa saja yang dilakukan oleh subyek (negara). Meski obyek dilekati predikat “sebesar-besarnya kemakmuran” namun itu akan dikembalikan pada seberapa mau dan mampu subyek (negara) memberikan kemakmuran itu pada obyek (rakyat).

Secara kebahasaan ayat (3) pasal 33 ini memang “cacat”, maka pantas saja jika implementasinya di lapangan kerap memprihatinkan, jauh panggang dari api.

Satu hal lain yang perlu dikritisi adalah negara sebagai subyek tunggal penguasaan bumi, air dan isinya ini berimplikasi pada kemungkinan negara mendelegasikan hak-haknya tersebut kepada pihak lain. Seperti perusahaan atau individu. Hal ini telah terjadi dari mulai awal negeri ini berdiri. Ini pula yang kemudian memicu tak terkontrolnya penggunaan hak negara yang didelegasikan tersebut.

Dalam konteks kebahasaan dan substansi, penulis berpikiran untuk membalik piramida kalimat pada ayat (3) pasal 33 ini dengan menempatkan dua subyek bertingkat dalam kalimat. Rakyat dan negara akan menjadi subyek dalam kalimat, adapun kalimat dalam ayat ini akan berubah menjadi “Rakyat mendelegasikan kepada negara hak pengusaan bumi, air dan isi yang terkandung didalamnya untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.” Kalimat ini akan berimplikasi secara luas dan menyatakan secara tegas bahwa sebenarnya bumi, air dan isi yang terkandung didalamnya merupakan hak rakyat yang penguasaannya didelegasikan pada negara. Maka kontrol penguasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat.

Tentu saja rekonstruksi ayat ini akan menuai pro dan kontra apalagi menyangkut amandemen UUD 1945. Di sisi lain rekonstruksi kebahasaan ini akan memberi warna yang sangat sosialis. Namun, sebagai sebuah wacana tentu saja layak untuk dikaji, meski masih bersifat sangat parsial tapi paling tidak bisa menjadi semacam jalan bagi bangsa kita berefleksi. Jangan-jangan gagalnya pembangunan yang berbasis pada sumber daya alam selama ini diakibatkan pada dasar undang-undang yang “bermasalah” secara logika bahasa yang akhirnya mendorong cacatnya logika kebijakan dan cacatnya implementasi kebijakan.

Berhenti Mempercayai Bahwa Kita Bangsa yang Arif Secara Ekologis

Ada kesadaran naïf dalam diri bangsa kita, yaitu kepercayaan bahwa kita ini bangsa yang arif secara ekologis. Ini mereferensi pola pemikiran dan tingkah laku nenek moyang kita yang hidup selaras dengan alam. Praktik-praktik itu masih bisa kita temui di beberapa komunitas di nusantara. Masalahnya kita sering lupa bahwa zaman berubah. Pragmatisme hidup telah menjadi gejala sosial di berbagai kalangan masyarakat. Baik di kota metropolitan hingga ke pelosok negeri.

Benar adanya jika kearifan lokal masih bisa kita temui tapi ini tidak bisa kita jadikan semacam kesimpulan besar, bahwa bangsa kita ini arif dalam hal ekologi. Ini hanya sebuah kenaifan logika, karena faktanya, prinsip-prinsip ekonomi modern mendominasi pola pikir dan pola laku bangsa kita.

Maka yang perlu kita pahami adalah perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang sepenuhnya digerakkan oleh nilai-nilai baru, seperti efesiensi, efektifitas produksi, prinsip ekonomi; modal sekecil-kecilnya dan keuntungan sebesar-besarnya, konsumsi besar dan berbagai nilai baru yang mungkin sulit dibayangkan pada masa-masa permulaan republik ini.

Pengakuan kritis atas realitas masyarakat kita akan memungkinkan lahirnya sebuah kebijakan dan pendekatan yang rasional dalam upaya menekan laju degradasi ekologis. Kebijakan dan pendekatan rasional yang dimaksud misalnya saja jika rakyat dituntut melakukan perlindungan terhadap hutan atau daerah aliran sungai misalnya. Tak bisa lagi kita bersandar pada asumsi-asumsi yang abstrak. Untuk masa depan anak cucu, atau kita sebut bumi ini titipan dan sebagainya. Kita harus memberi tawaran rasional bagi mereka yang mau memproteksi hutan. Apa itu ? ya tentu saja imbalan yang sifatnya material, logika sederhana bagaimana mungkin rakyat memelihara hutannya kala perutnya kelaparan.

Hal ini bisa saja disebut sebagai pikiran yang terlalu transaksional, tapi pertanyaan penulis. Bukankah kita hidup digerakkan oleh motif, salah satu yang paling dominan adalah motif ekonomi. Lantas apa salahnya jika kita menjadikan segala upaya konservasi bisa berbuah manis bagi masyarakat yang ada disekitarnya.

Note : Foto karya huzer apriansyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline