Lihat ke Halaman Asli

Djadoeg Djajakusuma: Membangkitkan Seni Peran Tradisional

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membangkitkan Seni Peran Tradisional

Rabu pagi itu, 28 Oktober 1987, seorang pria dengan rambut putih yang tergerai panjang dan jenggot tebal yang juga telah memutih, tengah berpidato di hadapan para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Pidatonya penuh arti, tentang makna Sumpah Pemuda dan sumbangannya terhadap geliat kesenian di masa itu. Tapi belum sempat ia menyelesaikan orasinya, tiba-tiba..bruk, ia tersungkur pingsan. Tak lama kemudian, seniman teater dan film yang wajahnya sering diidentikkan mirip gambaran Gajah Mada itu menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Cikini. Ia yang merupakan pelopor berdirinya Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini IKJ), akhirnya harus mengawali proses kematiannya di tempat yang ia bidani kelahirannya.

Dialah Djadoeg Djajakusuma. Nama yang mungkin kurang populer di telinga orang awam namun sangat harum di kalangan masyarakat kesenian. Terutama mereka yang bergiat di bidang seni film, teater maupun teater rakyat.

Pria yang lahir 1 Agustus 1918 di Parakan, Temanggung itu boleh dibilang salah satu sesepuh seniman di Indonesia. Dalam kiprahnya di dunia film, Pak Jaya--begitu ia sering dipanggil-- tak kalah dengan sutradara-sutradara segenerasinya semisal Usmar Ismail dan Asrul Sani.

Ia menimba ilmu perfilman jauh hingga ke California, AS. Dia juga ikut membantu Usmar Ismail mendirikan Perfini dan Akademi Teater Nasional Indonesia. Banyak kalangan film menyebut Usmar Ismail, Djadoeg Djajakusuma dan Asrul Sani adalah representasi generasi pertama perfilman Indonesia.

Tidak kurang dari sembilan judul film telah ia hasilkan. Di antaranya yang cukup terkenal pada masa itu film Harimau Tjampa (1953) yang sukses menyabet hadiah pada Festival Film Asia 1955, dan Bima Kodra (1967) yang mendapat penghargaan dari Departemen Penerangan RI.

Di bidang seni peran dan teater, Pak Jaya bahkan lebih dihargai. Ia seorang sutradara dan penulis naskah sandiwara yang andal. Beberapa karya naskah drama yang dihasilkannya banyak dipuji di sana sini. Namun lebih dari itu, dialah motor utama kebangkitan seni-seni tradisi dan teater rakyat di era 1960-an sampai 1980-an.

Tanpa pernah segan ia rajin bergumul dengan para seniman wayang orang, wayang kulit, lenong dan teater rakyat yang lain. Dibawanya kesenian-kesenian tradisional itu ke ranah seni modern di Jakarta. Salah satunya dengan memfasilitasi seni-seni tradisi ini untuk bisa pentas di Taman Ismail Marzuki yang pada masa-masa itu masih didominasi oleh gairah teater modern yang berkiblat ke barat.

Hasilnya cukup dahsyat. Di masanya, seni lenong berhasil direvitalisasi sampai bisa menggaet penggemar dari kalangan muda. Lewat kerja keras dan lobinya ke pemerintah DKI Jakarta, Wayang Orang Bharata seolah menemukan kembali semangat baru hingga mampu menjadi tontonan favorit, terutama di kawasan Senen.

Kecintaan terhadap seni tradisi dan pewayangan dibuktikannya juga melalui berbagai naskah sandiwara seperti "Karma Lembu Peteng", dan puluhan artikel yang banyak dimuat oleh berbagai media, terutama majalah Zaman antara 1979-1984. Pak Jaya pula yang memelopori ajang Pekan Wayang Indonesia I (1966) dan II (1974).

Dengan semua yang sudah dilakukannya itu, nama Djadoeg Djajakusuma tidak bisa lagi dipisahkan dari dunia teater, apalagi yang berhubungan dengan teater pinggiran (tradisi). Ia menjadi referensi paling dicari untuk setiap tulisan, seminar maupun diskusi tentang kehidupan seni tradisi.

Keterikatan Djajakusuma terhadap seni peran dan seni tradisi ini sama eratnya dengan keterikatannya dengan lingkungan seni yang dibesarkannya. Kiprah keseniannya benar-benar diabdikan untuk lingkungan IKJ--tentu saja berikut Taman Ismail Marzuki dan orang-orang yang berkecimpung di situ--, bahkan hingga akhir hayatnya.

Dia yang ikut melahirkan IKJ. Dia pula yang kemudian mati-matian membesarkannya, baik ketika berperan sebagai pekerja seni biasa maupun saat mendapat amanat sebagai rektor. Dan terakhir, ia jatuh lalu meninggal saat memimpin upacara peringatan Sumpah Pemuda, juga di tanah IKJ.

Pada 2003 atau 16 tahun setelah kematiannya, Djadoeg yang hingga akhir hidupnya tetap membujang ini, menerima tanda jasa Bintang Budaya Paramadarma dari pemerintah. Penghargaan yang sangat layak diterima oleh seorang seniman yang kiprah, karya dan pengabdiannya di dunia seni tak perlu diragukan lagi.

Seorang penulis anonim di situs saksi.wordpress.com menyebut, "Djadoeg Djajakusuma adalah seorang pejuang dan nasionalis, melalui film dan naskah drama serta pemikirannya yang keras dalam membangun film indonesia yang berbasis pada nilai tradisi." (Handiyanto, asal Suronatan Temanggung) Naskah ini pernah dimuat di Media cetak Stanplat Edisi Oktober 2008)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline