Lihat ke Halaman Asli

Tingwe ala Sobary

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lama tak muncul di peredaran, Budayawan Mohamad Sobary tiba-tiba membuat ulah lucu. Ceritanya, ia menjadi narasumber pada Seminar Kretek dalam Perspektif, Ekonomi, Politik dan Budaya (1/4/2010) yang diadakan oleh Komunitas Gerakan Lokal, Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN) di hotel Cemara Baru, Jl Wahid Hasyim 69 Jakarta Pusat.

Sebelum masuk sesi acara Sobary menunjukkan kepada peserta segepok peralatan sederhana membuat rokok linting, atau yang oleh orang-orang desa di Jawa disebut tingwe (linting-dewe: melinting sendiri). Setelah berhasil meramu tengwe, Mantan Direktur KantorBerita ANTARA itu lantas membawa hasil lintingannya ke depan peserta seminar dan menghisapnya. “Saya anti rokok, tapi rokok pabrik. Kesukaan saya merokok bikinan sendiri,” ujarnya kepada peserta.

Dalam seminar bersama narasumber, Drs Hasyim Afandi (Bupati Temanggung), Nur Suhud (Anggota Komisi IX DPR-RI dan Salamudin Daeng (Institute Global Justice) tersebut Sobari melihat rokok memiliki nilai sosial kemanusiaan, bahkan di dalamnya terkandung ritus kemanusiaan yang unik. Hubungan masyarakat dengan rokok tidak kurang mendalam dibanding hubungan yang bersifat psikologis. Secara sosial menurutnya, rokok menjadi sarana komunikasi, jembatan perkenalan dengan orang baru di dalam perjalanan kereta api, di dalam aneka acara macam perjamuan, di dalam rapat-rapat raksasa. Di sana masyarakat mudah saling bertukar rokok, untuk membuka perkenalan lebih jauh.

Kalau kita sudah saling mengenal dengan baik, rokok menjadi sejenis tali peneguh silaturahmi dan solidaritas sosial. Tapi rokok memiliki fungsi lebih dalam lagi. Secara spiritual, dalam ritus religi, rokok menjadi bagian dari kelengkapan sesaji. Mungkin syarat yang paling penting,” ujarnya.

Selain mengungkap masalah rokok dalam konteks sosial, Sobari juga melihat sisi sejarah hubungan rokok dengan masyarakat. Kisah klasik Rara Mendut dan warung rokoknya di pasar anyar (wilayah katumenggungan Wirogunan Yogyakarta jaman dulu memberi kesan yang romantis. Pada zaman Sultan Agung di Mataram, (1613-1645), rokok juga sudah menjadi jenis komoditi dan ada kesan warung rokok Rara Mendut sukses besar. “Ini terjadi karena merokok sudah menjadi kebiasaan mendarah daging di dalam masyarakat. Dalam lakon sejarah yang didramatisir itu terkesan bahwa demi rokok orang rela menjual lembu, atau barang apa saja. Ada kesan, rokok sudah menjadi candu,” jelasnya.

Ada juga cerita menarik dari Kang Sobari tentang Sastrawan Besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang pernah punya pengalaman sebagai pedagang rokok. “Pram merokok pada usia belasan tahun dan dia merasa tenang secara psikologis dengan rokok. Kita memang tidak tahu mengapa, tetapi dalam kaitannya dengan kerja karang mengarah, merokok memberi inspirasi dan meningkatkan daya kreatifitas. Tanpa merokok, Pram merasa buntu pikirannya,” jelasnya.

Tanpa bermaksud mengabaikan masalah kesehatan,kampanye internasional hidup sehat dan anti rokok yang akhir-akhir ini gencar disuarakan kalangan kesehatan dipertanyakan karena menurutnya terlalu berlebihan. “Mengapa tak lebih dipandang lebih mendesak kampanye nikmatnya kaya dan AS jadi contoh agar kita diberi kesempatan kaya?”

Pada hubugannya dengan fatwa haram rokok, Budayawan ini mempertegas pernyataan, “belum ada program yang lebih absurd daripada pemerkosaan agama agar tokoh-tokohnya mengharamkan rokok tapi tak mengharamkan strategi dagang yang tetap VOC minded. Penjajahan macam ini dari dulu lebih haram dibandinkan dengan rokok,” ujarnya lugas.(Nila)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline