Lihat ke Halaman Asli

Mencari Kepriyayian Baru

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_110637" align="alignright" width="199" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Orang-orang Temanggung bukanlah "Orang-orang Rangkasbitung" seperti yang digambarkan Rendra dalam salah satu kumpulan puisinya. Dalam imajinasi Rendra, orang-orang Rangkasbitung adalah orang-orang malang yang ditimpa malapetaka abadi, ditindas dari masa kolonialisme hingga Orde Baru. Mereka adalah orang-orang yang kalah sepanjang sejarah. Mereka menjadi masyhur karena penderitaannya, kegetirannya, dan kegagalannya yang tragis.

Orang-orang Temangggung berbeda jauh dari gambaran Rendra tentang Orang-orang Rangkasbitung itu. Seperti yang setidaknya saya kenal pada setiap kali pulang kampung di musim Lebaran, orang-orang Temanggung adalah orang-orang yang sejahtera, bahagia, dan sukses. Tapi tunggu dulu, cerita tentang Orang-orang Temanggung yang sukses ini, saya batasi pada kisah orang-orang Temanggung yang merantau dan "berhasil" di tanah rantau. Dalam setiap kali pulang kampung, mereka selalu memamerkan kekayaannya dan jabatannya dan kesombongannya, untuk memberi kesan pada keluarganya, kerabatnya, penduduk kampungnya, bahwa mereka telah "menjadi orang." Orang-orang Temanggung seperti inilah yang terlintas dalam benak saya untuk dikontraskan dengan gambaran Rendra tentang Orang-orang Rangkasbitung.

Orang-orang Temanggung yang sukses dalam mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan di rantau dianggap sebagai orang terpandang di kampungnya. Tidak ada yang salah dalam cerita seperti ini. Pada mulanya orang-orang seperti ini mengambil resep mobilitas sosial vertikal melalui jalur pendidikan-pekerjaan-kekayaan. Pendidikan adalah kunci kesuksesan. Mereka tidak pernah menjadi terlalu miskin untuk masuk ke dunia pendidikan sebagai jenjang pertama untuk menempuh ritus sosial menjadi orang sukses. Pendidikan mengajarkan bekal ketrampilan, dan ketrampilan memberikan akses pada berbagai jenis pekerjaan. Makin tinggi pendidikan, makin canggih ketrampilan yang diajarkan. Dan makin canggih ketrampilan, makin besar peluang pasar untuk pekerjaan yang mendatangkan banyak penghasilan. Tidak ada yang salah pula dalam cerita seperti ini. Itulah rumus untuk menjadi priyayi. Orang Jawa umumnya, dan orang Temanggung khususnya, memuliakan kepriyayian.

Para priyayi Jawa, termasuk priyayi Temanggung, sungguh memuja kemapanan. Dalam pandangan-dunia priyayi, kemapanan identik dengan kestabilan, keamanan, kebesaran, kerapian, kemakmuran, ketertiban, kejayaan. Para priyayi mengejar kemapanan agar hidupnya sejahtera dan aman sentosa. Itulah cita-cita kehidupan para priyayi. Kesuksesan diukur dengan parameter seperti itu. Tetapi kesejahteraan dan kesentosaan, entah kenapa, seringkali diperjuangkan sebagai capaian ekonomi. Mekanisme ini mereduksi makna kesejahteraan dan kesentosaan sekadar sebagai gejala material. Makin kaya seseorang makin sejahtera dan sentosalah ia. Para priyayi Temanggung, seperti halnya para priyayi Jawa lainnya, mengagung-agungkan kekayaan. Kesuksesan, dalam dunia batin para priyayi, ternyata bersifat sangat materialistik.

Kultur kepriyayian mengenai kekayaan dan kejayaan sudah lama menimbulkan masalah dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia. Secara umum deskripsi mengenai problematik kultur priyayi telah banyak menarik perhatian beberapa sarjana. Benedict Anderson melihat masalah itu dalam hubungannya dengan paham kekuasaan Jawa yang monolitik, anti-persaingan, dan anti-oposisi. Neils Mulder melihat bagaimana orang Jawa mengejar peruntungan ekonomi dan politik dalam ketiadaan kerangka moral individual kebudayaan Jawa. Baik Anderson maupun Mulder memang mempertanyakan legitimasi moral dari kekayaan dan kekuasaan orang Jawa yang diraih melalui cara-cara priyayi.

Tetapi kritik mereka sebenarnya hanya relevan untuk setting kebudayaan-politik yang dikembangkan Orde Baru yang telah berhasil menggantikan asketisme priyayi dengan orientasi yang lebih materialistik pada perolehan kekayaan dan besaran kekuasaan. Dalam ketiadaan kontrol sosial terhadap kekuasaan tiranik Orde Baru, kepriyayian seperti itu menjadi basis bagi berkembangnya kultur yang mentolerir korupsi, otokrasi, perkoncoan oligarkis, dan elitisme kekuasaan.

Kini setelah Orde Baru tumbang, seharusnya kita perlu mencari jenis kepriyayian baru. Inilah jenis kepriyayian yang pernah dikembangkan Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Jenis kepriyayian seperti ini menolak orientasi materialistik pada penguberan kekayaan dan kekuasaan demi prestise pribadi. Sebaliknya, orientasinya harus diarahkan pada altruisme sosial, pembelaaan pada mereka yang tersingkir, mereka yang marginal, dan yang suaranya tak didengar. ***

Oleh AE Priyono Peneliti Demos dan Reform Institute

(naskah ini pernah dimuat di media cetak Stanplat Temanggung, Edisi Mei 2007)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline