Lihat ke Halaman Asli

Jōngkō Jōyōbōyō

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jōngkō Jōyōbōyō

(tanggapan untuk tulisan Anif Punto Utomo)

AE Priyono (Peneliti Reform Institute. Asal Ngadirejo Temanggung)

Dalam tulisannya pada edisi bulan lalu di rubrik ini, Anif Punto Utomo menyoroti isu tentang gaji para wakil rakyat Temanggung. Para pembaca terperanjat, karena selama ini tidak membayangkannya sebesar yang dibeberkan Anif. Anggota DPR marah karena menganggap tulisan itu bersifat manas-manasi, bernada menghasut, penuh insinuasi. Mereka juga membantah bahwa jumlah gaji mereka tidak sebesar yang ditulis itu. Mereka mengoreksi bahwa jumlah tersebut bukan hanya gaji, tetapi termasuk tunjangan macam-macam, ini-itu, kanan-kiri, sana-sini. Jadi bukan substansi yang dibantah, tapi istilah teknis. Tentu Anif paham bedanya “gaji” dan “take home pay.”

Kenyataan bahwa penghasilan para anggota DPRD menempati struktur pendapatan tertinggi di Temanggung, bahkan lebih tinggi dari penghasilan resmi Bupati, bagi banyak orang memang mengejutkan. Dalam data yang dibeberkan tulisan itu, diketahui bahwa pendapatan resmi anggota DPRD setiap bulan mencapai sekitar 14 juta, Wakil Ketua sekitar 21 juta, dan Ketuanya lebih dari 24 juta. Anif mengkontraskan penghasilan sebesar ini dengan jumlah yang diperoleh seorang buruh menurut standar UMR, yang hanya sekitar 450 ribu per bulan. Jadi, si buruh memerlukan waktu bekerja 2,5 tahun untuk menyamakan jumlah penghasilan sebulan para wakilnya di DPRD. Jika dihitung dengan cara lain, maka akan muncul kesimpulan lain bahwa penghasilan yang diterima wakil rakyat itu 31 kali lipatnya dibandingkan yang diterima buruh. Dengan kata lain, struktur kesenjangannya mencapai 3000%. Angka-angka yang memang bikin shock!

Tapi Anif berusaha merelatifkan keterperanjatan publik itu dengan menarik pokok masalahnya pada sifat mulia dari pekerjaan para wakil rakyat. Pekerjaan yang berat, apalagi luhur dan mulia, seperti mewakili rakyat, sepantasnya dibayar mahal. Ia membandingkan dengan gaji yang diterima para profesional di perusahaan-perusahaan besar. Mereka digaji besar, diberi bonus besar, karena membuat perusahaan untung besar. Di sini tolok ukurnya adalah profit. Beratnya pekerjaan bisa diukur dengan target laba yang berhasil dicapai.

Apa tolok ukur keberhasilan pekerjaan politisi? Bagaimana membuat parameter berat ringannya? Jika pekerjaan politisi benar luhur dan mulia, apakah imbalannya juga harus dibayarkan secara material? Dari mana uangnya? Siapa yang berhak menentukan besar kecilnya jumlah imbalan? Siapa yang harus mengontrol kinerjanya? Bagaimana ukurannya?

Perdebatan akan menjadi panjang lebar seputar pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi Anif telah membuat simplifikasi. Menurutnya, jika para wakil rakyat itu bisa membuat kepentingan rakyat terwakili, dan jika kehadiran mereka benar-benar berarti bagi kemaslahatan masyarakat, maka mereka berhak mendapatkan apa yang selama ini mereka dapat. Benarkah begitu? Justru di sinilah masalahnya. Representasi politik melalui partai-partai di lembaga-lembaga parlementer masih merupakan perkara serius di Indonesia pasca Orde Baru. Para politisi bahkan gagal memenuhi tuntutan standar politik konvensional untuk menjalankan tiga tugas minimal mereka, yakni menjaring aspirasi kerakyatan, menggalang agregasi kepentingan masyarakat, dan memajukan partisipasi politik untuk mengontrol kebijakan eksekutif.

Apa yang terjadi adalah mobilisasi dan manipulasi oleh kaum elit. Para politisi menjadi gerombolan kepentingan partai-partai oligarkis di tingkat nasional. Aspirasi lokal dikebiri, partai lokal dilarang berdiri. Demokasi dibajak dan dikolonisasi demi kepentingan elite politik, kaum vested inerest dari dunia bisnis, militer, dan agama. Neoliberalisme, fasisme, dan fundamentalisme menjadi campur aduk dalam persaingan-persaingan penuh kepentingan. Politik, secara keseluruhan, menjadi ajang perselingkuhan para bandit – bandit politik yang menguasai birokrasi dan negara, bandit ekonomi yang menjadi antek modal asing, bandit agama yang berlindung di balik komunalisme sektarian, dan bandit-bandit bersenjata yang selalu ingin berkuasa. Inilah yang disebut banditary unholy alliances, persektuan-najis para bandit. Politik Indonesia pasca Orde Baru, termasuk di tingkat lokal, juga di Temanggung, didasarkan pada persekutuan-persekutuan semacam itu.

Dengan penglihatan semacam ini, sungguh naif menyimpan harapan agar para politisi mewakili kepentingan masyarakat. Dalam sistem politik oligarkis, harapan seperti itu hanyalah fatamorgana. Di tengah-tengah fatamorgana, marilah kita melipur lara di dalam puisi. Dan inilah puisi yang cocok dengan suasana zaman kita – Jōngkō Jōyōbōyō.

“Sésük yèn wĭs ōnō kréta tanpō jaran. Tanah Jōwō kalungan wesi. Prahu mlaku ĭng dhüwür awang-awang. Kali ilang kedhungé. Pasar ilang kumandhangé. Iku tōndō yèn tekané jaman Jōyōbōyō wĭs cedhak Iku tandané yèn wōng bakal nemōni wolak-walikĭng jaman. Bōndhō dadi memōlō. Akèh janji ora ditetepi. Akèh wōng wani mlanggar sumpahé dhéwé. Akèh wōng mbambüng. Akèh wōng nyambüt gawé apĭk pōdhō krōsō isĭn. Luwĭh utōmō ngapusi. Wegah ngrekōsō. Kepĭngĭn urĭp mülyō. Wōng jahat munggah pangkat. Wōng cilĭk dadi priyayi. Akèh wōng ngaku-aku, njabané putĭh njeroné dhadhu. Ngakuné suci, nangĭng suciné palsu. Sĭng sawenang-wenang rumōngsō menang. Wōng ōlō kepujō. Wōng ōlō diujō. Ngumbar napsu angkōrō mürkō. Nggedhèkaké dhurōkō. Akèh bujük akèh lojō. Akèh udan salah mōngsō. Sĭng kebat kliwat. Sĭng anggak ketunggak. Sĭng nékat mbrekat. Sĭng jirĭh ketindhĭh. Sĭng ngawür makmür. Wōng dhorō urō-urō. Sĭng mendélé dadi gedé. Dürjōnō sōyō ngōmbrō-ōmbrō.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline