Lihat ke Halaman Asli

Bayu Segara

Lihat di bawah.

Aku, Pemulung Dan Pelacur

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam itu kamu berdiri di sana, berjejer dengan perempuan lainnya. Tak nampak riasan makeup pada wajahmu yang lugu. Ah mana aku tertarik dengan kamu, walaupun libidoku telah sampai ubun-ubun. Kulewati kamu dan kamupun sepertinya acuh terhadapa keberadaanku.

Kuhentikan motorku di samping seorang perempuan manis yang memakai makeup tebal dengan pakaian yang begitu merangsang birahi.

“Berapa Mba?”, tanyaku ketika sudah berada di hadapannya.

“300, short time”, jawabnya dengan senyum yang manis.

“Wah, kemahalan nih, 200 aja gimana?”, tawarku.

“Ga, cari aja yang lain”, ucapnya sedikit ketus, membuat hasratku padanya menjadi padam. Kulanjutkan langkah kaki ini pada perempuan setengah baya yang sedang duduk di halte di ujung sana.

“Ngamar Mas?”, belum apa-apa dia sudah menawarkan diri.

“Berapa?”, tanyaku pendek.

“300 aja Mas”

“Ga bisa kurang?”

“Pasarannya segitu”

“200, gimana?”

“Ga bisa”

Jawabannya membuat kakiku beranjak pada perempuan lainnya. Dan ternyata mereka punya jawaban yang sama, hingga membuat aku menyerah. Kubalikkan badanku ke tempat tadi memarkirkan motor. Di sana kulihat perempuan lugu itu masih duduk di trotoar.

“Mba, berapa penghasilannya semalam?”, ucapku ketika berdiri di hadapannya.

“Ga tentu mas, kadang 10 ribu. Kalau lagi mujur bisa sampai 20 ribu” jawabnya. Membuat aku terharu terhadap dirimu wahai perempuan malam.

“Saya kasih uang 200 ribu, mau ga?”

“Kalau abang mau ngasih, ya saya terima”

“Tapi ada syaratnya”

“Apa syaratnya Mas?”

“Mba harus melayani kemauan saya selama 10 hari”

“Kalo sanggup, saya akan turuti, kalau tidak, saya akan menolaknya. Apa kemauannya mas?”

“Mba tidak boleh keluar dan berdiri di sini selama 10 hari. Anggap uang ini sebagai pengganti dari penghasilan Mba selama itu”

“Benarkah”

“Iya”

“Hanya itukah keinginan Mas padaku?”

“Hanya itu”

“Bukankah tadi mas sedang mencari perempuan sebagai tempat pelampiasan nafsu?”

“Iya benar”

“Lalu kenapa uang itu Mas tawarkan kepada saya?”

“Karena Mba tidak sedang menawarkan diri pada saya”

“Apakah karena saya kurang cantik?”

“Iyah, Mbak kurang cantik”

“Apakah saya tidak menarik”

“Iyah, Mba tidak menarik”

“Terus apakah yang menyebabkan Mas memberikan uang ini pada saya?”

“Ketidakcantikan dan ketidakmenarikan Mba yang membuat saya memberikan uang itu"

“Kenapa bisa begitu Mas?”

“Karena kalau Mba menarik, bisa saja posisi Mba bukan di hadapan saya lagi. Mungkin saja sekarang Mba berada di diskotik,  di rumah megah atau di dalam mobil yang mewah”

“Apakah Mas sedang menghinaku?”

“Aku lebih hina dari Mba, mengapa bisa Mba katakan kalau aku sedang menghinamu”

“Maksudnya, gimana Mas”

“Aku sekarang sedang mencari pelampiasan nafsu, sedang engkau sedang mencari sesuap nasi”

“Lalu”

“Aku tak perduli lagi dengan perutku yang lapar karena aku sudah kenyang. Hingga kucari kesenangan dari kekenyangan perutku. Kalau perutku lapar dan tidak ada uang untuk membeli makanan, mana bisa aku bersenang-senang seperti keadaanmu sekarang, yang keluar tengah malam demi sesuap nasi”

“Pertimbangan apalagi yang membuat Mas mau memberikan uang itu padaku”

“Aku kagum sama perjuangan Mba. Disaat perempuan lain sedang tertidur di kasur empuknya, engkau rela berdiri dan berjalan mencoba meraih rizkimu. Disaat perempuan lain berfoya-foya dengan uang bukan hasil keringatnya. Engkau menghabiskan keringat demi kesenanganmu”

“Apakah Mas memberikan uang ini karena uangnya kurang untuk menyewa perempuan lain”

“Tidak, memang aku berniat memberikannya padamu. Mba lihat ini”, ucapku sambil mengeluarkan dompet dari saku celana dan memperlihatkannya isinya pada dia.

“Di dompetku ada uang dua juta”

“Saya percaya Mas”

"Gimana, sanggup mengikuti kemauan saya?"

"Sanggup Mas"

“Nih uangnya”, ucapku sambil menyerahkan uang padanya. Tampak matamu begitu berkaca-kaca ketika menerima uang itu.

"Saya pulang dulu yah Mas. Terimakasih atas kebaikannya", ucapnya sambil mengambil karung yang tadi tergeletak di sisi dekat tong sampah. Dimasukkannya gancu besi yang dari tadi dia pegang ke dalam karung tersebut. Sambil memakai topi lusuh diapun pergi meninggalkan saya sendiri.

"Sama-sama", jawabku sambil melihat dia berjalan menghilang di kegelapan malam.

*****

Besoknya aku kembali lagi ke situ, tak nampak kamu ada di sana. Kulihat ke sekeliling, tak tampak pula perempuan-perempuan malam yang kemarin. Hingga kucoba untuk menunggu kemunculan mereka di atas sadel motor. Namun tak satupun batang hidung mereka yang muncul hingga tengah malam. Apakah mereka sedang berlibur, tak tahulah aku.

Melihat keadaan ini, membuat aku tertawa. Ternyata aku pelacur juga, duduk di sini menunggu mereka untuk melampiaskan nafsuku. Sedangkan mereka si pelacur hidup, berdiri di sana karena perutnya harus terisi oleh nasi. Sedangkan nasi itu bisa dibeli ketika dia telah menjual tubuhnya pada si pelacur nafsu sepertiku. Mereka melacur demi kebutuhan hidup, aku melacur demi kebutuhan nafsu. Tak tahu siapa yang lebih baik, aku atau dia, entahlah.

Tulisan Lainnya

Jatuhkan Bidadari Dari Surga
Ada Fulus, Kami Infus
Lolongan Serigala
Cowok Matre = Emansipasi Juga!!! Titik
Di Puncak, Harga Segelas Kopi + Sebatang Rokok 150 Ribu
Ludahi Telunjuknya, Lalu Kita Berkelahi
Papah, Apakah Engkau Ayahku
Barung, Cerminan Kedewasaan Anak Kecil
Gara-Gara Nasi Goreng Masuk Neraka
Anakku Sudah Gadis
Aku Bukan Jiwamu
Maafkan Emak Membunuhmu
Giliranku Sudah, Sekarang Giliranmu Tuhan
Nak, Kamu Telah Menjatuhkan Harga diri Mama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline