Ketika saya pindah dari Bandung ke Karawang, banyak terjadi perubahan dalam berbagai hal. Salah satu diantaranya mengenai cuaca, tadinya dingin sekarang panas. Sampai-sampai badan berkeringat jika tidur di siang hari karena saking panasnya. Maka tak heran baju menjadi basah ketika bangun tidur, seperti orang baru mandi saja, karena peluh membasahi seluruh tubuh. Selama beberapa bulan, saya tidak merasa nyaman dengan keadaan ini. Namun mau tidak mau harus menerima, ya sudah terpaksa menerima.
Selain cuaca, ada juga perubahan dalam kepindahan ini yaitu bahasa dan gaya bicara. Di Bandung, saya terbiasa mengobrol dengan bahasa halus dan gaya bicara yang enak di dengar. Anda yang pernah ngobrol dengan orang Bandung pasti bisa merasakannya. Karena gaya bicara orang Bandung berbeda dengan gaya bicara orang Sunda lainnya di Jawa Barat.
Di Karawang sini, bahasa yang digunakan adalah sunda kasar dengan gaya bahasa nyolot. Saya jadi merasa terdegdradasi bahasa, terkaget-kaget menerima kenyataan ini. Perubahan yang membuat bingung harus bersikap bagaimana. Namun lambat laun saya bisa juga menerima perbedaan ini, tentunya dengan adaptasi yang lumayan memakan waktu.
Ada beberapa kisah unik jika mengingat betapa perbedaan bahasa dan gaya bicara bisa membuat kesalahpahaman.
Suatu sore, ketika pertamakali tiba di Karawang. Saya dan 2 orang tetangga ngobrol-ngobrol di bawah pohon di pinggir sungai Citarum. Tetangga saya ini seumuran, mereka sedang tarik urat dengan mengeluarkan kata-kata kasar. Dengan berlagak pahlawan saya melerai mereka dengan bilang "Sudah-sudah jangan pada berantem", karena saya pikir mereka sedang berantem. Akhirnya merekapun diam, kemudian mereka saling dorong mendorong sambil berlari menuju ke sungai untuk berenang. Berbarengan mereka menyeburkan badan di sungai yang waktu itu airnya masih jernih. Saya hanya bisa melongo, loh kok masih pada berantem sih mereka, pikir saya.
Besoknya, seperti biasa di sore hari, kami berkumpul lagi di pinggir sungai Citarum. Karena memang hanya inilah hiburan kami. Main bola di alun-alun, di jalan atau berenang di Citarum adalah hiburan utama bagi anak-anak di sekitar alun-alun Karawang. Dan seperti hari kemarin, 2 orang tetangga saya ini berantem lagi dan sayapun melerainya lagi. Dan seperti hari kemarin, merekapun diam dan meloncat lagi ke sungai.
Dan hari ini, berantem lagi!!! Ada yang salah nih kayaknya, pikir saya. Dan benar saja ada yang salah, hal ini ketahuan ketika saya dan adik ngobrol. Ada kata-kata kasar yang diucapkan olehnya dalam obrolan. Sayapun marah pada adik karena ketidaksopanannya. Ada rasa heran yang tampak di mukanya ketika saya memarahi dia. Membuat saya jadi bingung juga, kenapa dia heran, apa tidak tahu orang marah, pikir saya.
Setelah sebulan berlalu, akhirnya saya menemukan kenyataan bahwa semua orang berbicara kasar!! Dan kalau berbicara, seperti orang yang lagi berantem atau ngajak berantem. Disinilah mulai saya tahu kalau ternyata orang Karawang itu bicaranya kasar-kasar dan nada bicaranya tinggi atau ngotot.
Pernah ada cerita, guru saya sampai tidak mau ngajar selama seminggu ketika dia baru dipindahkan ke Karawang dari Bandung. Dikarenakan anak didiknya bicara kasar dan tidak sopan kepadanya. Namun setelah tahu dan sadar bahwa memang watak dan gaya bahasa orang Karawang begitu, sekarang beliau malah ikut-ikutan, bahkan kadang lebih kasar dari orang Karawang sendiri!!
Ada pula cerita tentang teman saya yang lagi jalan-jalan ke Garut. Di perjalanan mereka mengobrol seperti biasanya. Kebetulan ketika sedang mengobrol itu mereka lewat di depan seorang ibu-ibu yang sedang menyapu halaman.
"Cep, sudah-sudah jangan berantem gak baek", ucap ibu-ibu itu. Dia menyangka kalau teman-teman saya ini sedang beradu mulut dan saling otot-ototan.
"Gak kok Bu, kita ngga berantem, memang kalau kita ngobrol seperti ini", jawab teman saya sambil tertawa, karena menyadari kalau mereka telah ngobrol yang "salah" di tempat yang salah. Yaitu ngobrol kasar di kota yang mempunyai gaya bicara halus dan santun.
Diluar dari cerita tersebut, sudah menjadi rahasia umum bahwa bahasa Karawang itu kasar. Sehingga orang-orang Karawang "sadar diri" untuk tidak ngobrol dengan bahasa dan gaya bahasa mereka ketika mengunjungi kota-kota yang mempunyai bahasa dan gaya bahasa yang halus di tatar Sunda. Karena jika tidak begitu, pastinya mereka menjadi pusat perhatian, karena dianggap sebagai orang aneh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H