Lihat ke Halaman Asli

Bayu Segara

Lihat di bawah.

Papah, Apakah Engkau Ayahku

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lebaran ini, seperti lebaran yang lalu, kampungku mendadak ramai. Berbondong-bondong orang kembali ke kampung halamannya setelah lama tinggal di negeri asing. Banyak orang berkumpul baik di rumah-rumah, warung-warung atau di tempat biasa kami duduk-duduk ngobrol di pinggir jalan yang membelah desa. Bersenda gurau, melepas kangen dengan saudara, teman atau bekas tetangga adalah pemandangan biasa jika sore hari datang.

Rumah-rumah penduduk tampak terlihat.lebih hangat daripada biasanya. Kehangatan itu timbul karena penghuninya telah lengkap lagi, pulang kembali ke rumah setelah sekian lama tinggal di perantauan. Terdengar gelak tawa atau pecahnya tangisan adalah hiburan yang dinanti oleh rumah yang dulu sepi

Aku….Seperti mereka juga kembali ke tanah kelahiran. Berharap bersuka ria dengan saudara yang kukangeni, kebetulan ibuku tidak ikut pulang kampung. Namun, harapan tinggal harapan, tak ada sanak saudaraku yang menyambut kepulanganku. Dalam obrolan basa-basi, kurasakan dinginnya sikap mereka.

*****

Hari itu tiba, lebaran yang ditunggu telah datang. Semua berkumpul di rumahnya masing-masing, tertawa dan bertangisan bahagia. Memainkan segala sandiwara cinta diantara mereka. Tampak manusia berseliweran, ada yang pergi ke rumah tetangga untuk bersalam-salaman sambil mohon maaf atas segala kesalahan atau adapula yang pegi ke kampung lain untuk berkunjung ke saudara yang nun jauh disana demi silaturahmi.

Kulangkahkan kakiku ke rumah itu, rumah nenekku, di teras depan rumahnya kududuk. Tak ada uluran hangatnya tangan dari penghuni rumah yang menyuruh masuk ke dalam. Terasa hambar, penerimaan mereka, jiwa ini bisa merasakannya. Akupun melangkahkan kaki lagi, menuju rumah saudara yang lain. Sama, hanyalah kekosongan yang aku dapatkan dari sikap mereka.

Hingga akhirnya ku terduduk di pinggiran rel kereta api, sendiri, sepi. Merenung, kenapa ini harus terjadi, bukankah lebaran itu semua orang berkumpul dengan keluarganya. Mengapa aku tidak? Lama kesendirian ini kunikmati. Terkadang, jika kereta lewat, ada kesenangan yang mengaliri pikiranku. Ah, mereka juga seperti aku, masih dalam kesendirian di kereta api menuju keluarganya untuk pulang.

*****

5 tahun berlalu.

"Kamu sudah ke rumah Bapakmu belum?", tanya kakak misanku ketika kami duduk mengobrol di ruang tengah rumahnya.

"Belum", jawabku datar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline