[caption id="attachment_88173" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] "Saya takjub!! Ini orang hebat, walau cuman punya uang seribu dan itupun adalah uang terakhir dia, namun masih bisa untuk bersedekah. Padahal saya yang punya uang 50 ribu, gak berani untuk ngajak orang lain makan. Dengan berbagai pertimbangan tentunya." **** Sore itu dapet selebaran tempat ziarah, sebagai petualang sejati, saya tertarik dengan selebaran tersebut. Saya buka dan baca isinya. Ternyata berisi informasi yang sangat menarik hati. Selebaran ini bercerita tentang tempat ziarah di Tasikmalaya yaitu tempat Syekh Abdul Muhyi menyebarkan agama dan dimakamkan. Hal menarik lainnya di selebaran tersebut, bahwa selain mengunjungi tempat dimakamkan beliau, kita juga bisa mengunjungi sebuah goa. Goa yang bagi masyarakat di sekitar tempat tersebut menjadikan sumber cerita yang turun temurun. Ada harta karun ga yaaah… jadi penasaran Setelah mengumpulkan uang sebagai bekal perjalanan. Akhirnya saya berangkat ke sana, dengan menumpang bis antarkota Bekasi-Tasikmalaya. Seperti perjalanan-perjalanan lainnya saya pun berangkat sendirian. Maklumlah, wanita banyak yang tidak ngeh, kalo saya ganteng, jadi ga ada yang mau nemenin saya hehe.. kok jadi curhat. Tiba di terminal Tasik, hari menjelang maghrib. Saya celingukan kebingungan, karena tidak ada satupun angkutan yang tulisannya mengarah ke Pamijahan. Dalam kebingungan, mata saya tertumbuk sama sesosok manusia. Dia adalah pegawai terminal. Dengan senyum ramah dari hati yang paling dalem, saya minta ditunjukkan harus pake angkutan yang mana, kalau ingin ke Pamijahan. Kata beliau, saya salah tempat menunggu. Harusnya ke terminal sebelah. Yee.. si Bapak teh bukannya bilang dari tadi… jangan nungguin saya nanya, baru ngasih tahu!! Edan yah saya., ah biarin. Lanjuut. Ternyata terminal ini terbagi dua, satu untuk bis antarkota, satu lagi untuk angkutan lokal. Tak tahu kalau sekarang, mungkin sudah berubah. Karena cerita ini sudah lama saya alami dan baru diceritakan sekarang. Setelah berjalan ke arah yang ditunjuk oleh si Bapak, akhirnya saya menemukan angkutan ke Pamijahan. Mobil tersebut berupa mobil elf. Alhamdulillah, tak lama mobil berangkat, jadi ga kesel nunggu mobil ngetem. Perjalanan ke kampung Pamijahan, kira-kira ditempuh dalam waktu 3,5 jam, kata om supir. Sepanjang perjalanan saya mikir [gini nih.. untungnya punya otak]. Gimana nantinya saya kalau sudah nyampe, mo tidur dimana? Apakah mesti tidur di Poskamling atau masjid. Karena dibayangan saya saat itu, bahwa pastinya tidak ada orang, karena hari sudah larut malam. Pikiran ini terus bergelayut, nempel di otak, hingga terminal Pamijahan. Pas turun, saya kaget. Maak.. ternyata banyak bus. Ini gimana ceritanya, kok terminal kecil, banyak busnya. Harusnya kalo terminal kecil kan, paling-paling isinya cuman angkot atau elf. Penasaran saya. Setelah diteliti, ternyata bus tersebut adalah bus peziarah. Saya tertawa, hehe aman, banyak temen. Jadi ngga takut, walau sendirian. Minimal, bisa ngikut ama peziarah lain, pura-pura kenal aja. Buru-buru, saya ngekor sama peziarah lain, menuju tempat penziarahan. Untuk ke tempat Syekh Abdul Muhyi, kita mesti melewati gang. Gang tersebut depannya ada gapura terbuat dari tembok bergaya bangunan zaman dulu. Sepanjang gang tersebut, banyak dagangan penduduk. Dagangannya berupa souvenir yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh bagi peziarah. Yang bikin heran, tak satupun pedagangnya nongol. Mereka pada diam di rumahnya masing-masing. Tak takut kalau barang dagangannya dicuri. Aneh yah… tapi itulah yang terjadi. Kalau kita mau beli souvenir, kita mesti manggil pedagangnya, baru mereka keluar. Hebat…. seumur hidup, hanya disini saya menemukan pedagang seperti itu. Setelah menurunin tanjakan kira-kira 500 meter kita mesti belok ke kanan dan berjalan beberapa meter lagi. Baru kita akan menemukan sebuah Masjid, tempat dimakamkan Syekh Abdul Muhyi. Ketika saya datang, banyak peziarah lagi pada sholat ataupun sedang mengaji. Saya pun ikut membaur dengan mereka. Besoknya saya ke Goa Pamijahan, jaraknya kira-kira 1 Kilo, melewati pesawahan. Gua tersebut, dari luar lubangnya kecil namun ketika sudah masuk sangat besar. Di sepanjang gua, air mengalir membentuk sungai. Tingginya air, kira-kira sejengkal dari lutut. Kita jalan melewati aliran air itu untuk masuk ke dalam. Di dalam sangat gelap, oleh karena itu kita mesti nyewa lampu Patromak. Banyak tersedia, jasa penyewaan petromak di depan pintu goa. Selain menyewakan, mereka juga menjadi pemandu kita masuk ke dalam gua ini. Kalau kita masuk ke sana, pasti akan kaget. Karena hawa di dalam gua lumayan panas, hingga membuat badan berkeringat. Padahal saya tadinya mikir, kalau dalam gua pasti dingin, karena tidak ada cahaya matahari masuk. Maklumlah ndeso bang... saya baru pertama kali mengunjungi goa. Disini kita akan ditunjukkan tempat jum’atan para wali, juga lorong tempat Syeh Abdul Muhyi pergi ke Mekah. Lorong ini sekarang ditutup oleh jeruji, karena sudah ada orang yang masuk dan tidak kembali [katanya]. Tak lupa juga, kopiah haji. Kopiah haji yang dimaksud adalah cekuk di atas dinding gua yang jumlahnya kalau tidak salah ada sembilan [koreksi jika salah]. Konon katanya, jika ada salah satu cekukan yang pas dengan kepala kita, maka Insya Allah kita akan kesampaian naek haji. Jika semua cekuk itu pas, berarti 9 kali pula kita akan berhaji. Katanya juga loooh. Disini juga ada sumber mata air, yang diyakini air zamzam. hehe… Kalo saya sih gak percaya. Ada-ada aja nih orang sana, nyari duitnya. Karena untuk mendapatkan air itu, kita mesti bayar!! Capeee deh. Setelah beres ,saya pun kembali pulang ke Mesjid. Karena tidak ada tempat berteduh selain disituh. Lah, mana jimatnya? Katanya dapet jimat. Pasti pembaca, bertanya-tanya tentang itu. Tenang…., saya tidak akan mengecewakan anda. Kita lanjut yah ceritanya. Kira-kira jam 9 malam, saya tiduran di dekat tembok belakang masjid. Bergabung dengan orang-orang yang sedang tiduran. Kebetulan, disamping saya ada seorang pemuda... kalau seorang pemudi bisa gawat urusan. Sambil tiduran saya ngobrol dengannya. Dia cerita, kalau sudah lama disitu, disuruh oleh gurunya dari Jawa. “Mas, makan yuk, saya ada duit nih, nanti saya bayarin”, ucap dia. Kira-kira jam 10, saat itu. “Ayoo, kebetulan lapar nih”, jawab saya semangat, mendengar kata-kata ‘dibayarin’. Maklumlah muka gratisan hehe. “Nih orang banyak duitnya, udah lama tinggal disini tapi masih bisa nraktir orang lain”, pikir saya saat itu. Akhirnya kita berjalan ke warung di belakang masjid. Nyampe disana, banyak orang yang lagi makan. Kitapun bergabung dengan mereka. Karena merasa dibayarin, saya pun tidak berani mesan makanan duluan. Nungguin dia yang mau bayarin, mesen makan duluan. Saat itu dia mengambil singkong dan pisang rebus, tidak memesan nasi. Karena merasa kalau makan itu, ya makan nasi, saya diam saja, tidak mengambil makanan apapun. Sabaaar, pikir saya saat itu. Lama saya tunggu dia memesan makanan, namun dia tidak juga memesan nasi. Saya jadi bingung, “Bener ga sih nih orang mau nraktir makan?”. Pikir saya saat itu. Hingga akhirnya dia ngomong. “Ayo mas, makan” Apa!! Maksud dia nraktir makan itu, yaitu makan singkong rebus doang!! “Emang, Abang punya duit berapa, mau nraktir saya makan?”, tanya saya penasaran. “Seribu”, jawabnya bikin kaget. Pada waktu itu, uang 2 ribu masih bisa dipakai makan dengan lauk seadanya. Saya takjub!! Ini orang hebat, walau cuman punya uang seribu dan itupun adalah uang terakhir dia, namun masih bisa untuk bersedekah. Padahal saya yang punya uang 50 ribu, gak berani untuk ngajak orang lain makan. Dengan berbagai pertimbangan tentunya. Tau ngga pembaca, saya sangat... sangat... terharu. Akhirnya malah dia yang saya traktir makan!! Saat itu saya tidak peduli, apakah bekal saya cukup untuk tinggal disana. Yang penting ada ongkos pulang, pikir saya saat itu. Saya malu sama dia, merasa kerdil, merasa terhina. Itulah Jimat yang saya temukan dari Pamijahan!! Jimat tentang bersedekah!! Maaf yah kalo mengecewakan, bagi pembaca yang menganggap jimat yang dimaksud adalah benda sakti bertuah seperti keris, batu dan lain sebagainya. Sampai Ketemu Di Tulisan Lainnya. Tulisan Sebelumnya. Tuhan, Kenapa Aku Tampan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H