Sejak Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dilantik menjadi Gubernur DKI dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, pro kontra reklamasi teluk Jakarta kian menghangat karena perbedaan sikap yang tajam antara pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta. Anies-Sandy, sesuai janji kampanye, bersikap menolak reklamasi. Sebaliknya, pemerintah pusat telah memutuskan untuk tetap melanjutkan.
Sebagai wujud dari penolakannya, Anies Baswedan menarik kembali dua pembahasan Raperda Zonasi dan Tata Ruang Pantura Jakarta dari pembahasan program legislasi daerah di DPRD DKI Jakarta. Alasan pencabutan dua raperda ternyata tidak substansial. Anies berdalih ingin mereview dan mempelajari kembali dua Raperda tersebut sebelum diajukan kembali ke DPRD DKI Jakarta.
Tak hanya itu. Dalam rangka menolak reklamasi, Anies juga meminta kepada Kepala BPN untuk membatalkan HGB tiga pulau reklamasi yang sudah kadung diterbitkan oleh BPN. Walaupun pada akhirnya BPN menolak permohonan Anies itu. Alasannya, penerbitan HGB pulau reklamasi itu sudah sesuai prosedur dan aturan pertanahan di negara ini, dan penerbitan HGB itu sendiri atas HPL milik Pemprov DKI yang diajukan kepada BPN.
Reklamasi bukanlah hal baru dalam perkembangan pembangunan sebuah kota. Di berbagai belahan dunia reklamasi telah banyak menuai keberhasilan dalam pemekaran wilayah untuk meningkatkan dayatampung dan kualitas sebuah kota. Apalagi, kota seperti Jakarta sebagai ibukota negara yang berpenduduk padat dengan beragam persoalannya.
Sejumlah kajian reklamasi pun telah dilakukan oleh para ahli atas kebutuhan Jakarta untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Namun pada kenyataannya, proyek reklamasi tersebut terus menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi isu politik yang bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan pihak tertentu untuk menghadapi Pemilu dan Pilpres 2019 nanti.
Padahal, reklamasi itu diperuntukan sebagai upaya revitalisasi dan pengembangan kawasan teluk Jakarta untuk lebih baik dan produktif. Ibukota perlu meningkatkan daya tampung dan daya dukungnya yang lebih berkeadilan dan berkemanusian bagi semua pihak, terutama nelayan di pesisir pantura Jakarta.
Yan Winata Sasmita, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia di DKI Jakarta, kepada media mengakui sudah dapat menerima penjelasan dari pengembang dan pemerintah mengenai maksud dan tujuan reklamasi. Menurut Yan, berdasarkan data tahun 2013, jumlah nelayan di DKI Jakarta tercatat 27.753 jiwa. Sekitar 64 persen merupakan nelayan ikan pendatang pekerja. Adapun nelayan penetap pemilik tercatat sekitar 11,1 persen, sedangkan penetap pekerja ada 25 persen. "Mereka berharap, jika proyek reklamasi dapat menguntungkan bagi mereka juga," kata Yan.
Menurut hasil kajian para ahli, reklamasi dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat di pesisir pantura Jakarta untuk memiliki kehidupan yang lebih layak dan sejahtera. Karena, hasil reklamasi akan memberikan dampak positif dalam hal menciptakan lapangan kerja dan usaha baru bagi masyarakat sekitar.
Prihatin atas polemik reklamasi yang dipolitisasi, pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono mengatakan jangan gara-gara pilkada atau karena pemerintah pusat dan daerah ada perbedaaan Jakarta bakal tenggelam. "Masalah ini harus diselesaikan secara konstitusional dan siapapun gubernur Jakarta dan presiden RI maka tantangan geologis, kenaikan permukaan laut dan tenggelamnya Jakarta karena penggembosan air tanah merupakan kompleksititas permasalahan yang harus ditanggulangi secara terpadu dan tidak bisa partisan dan sektarian maupun ideologi populis model Trump." Kata Wibisono di Jakarta (1/2/2018).
Jika kita mau sedikit lebih berpikir jernih, reklamasi Teluk Jakarta itu seharusnya dilihat sebagai upaya memberikan solusi dan membangun ibukota ke arah yang lebih baik dan lebih maju di masa depan. Jakarta menyimpan banyak masalah. Penduduk yang padat dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, sementara wilayahnya terbatas. Ibukota hanya bisa dimekarkan ke arah utara.
Wilayah di utara Jakarta hingga saat ini kualitasnya paling rendah dibandingkan wilayah lainnya. Apalagi, Teluk Jakarta pun terus menurun kualitasnya secara lingkungan. Potensi masalah yang akan dihadapi Jakarta di masa depan tentu akan semakin kompleks jika tidak diantisipasi sedini mungkin di saat ini. Tak heran jika Pemprov DKI sejak dulu telah menetapkan wilayah utara sebagai kawasan strategis pengembangan ibukota Jakarta.