Di Kota Kasih ini, galibnya warga kota menyebut Lampu Lalulintas (traffic light) sebagai lampu merah. Padahal pada lampu lalulintas itu bukan hanya lampu berwarna merah saja yang ada, lampu berwarna kuning dan lampu berwarna hijau juga ada.
Tetapi kenapa jarang ada orang yang menyebut lampu lalulintas itu dengan sebutan lampu kuning, atau lampu hijau? Dan kenapa ketika seseorang mengatakan "... dekat lampu merah ...", di pikiran kita seolah sudah tergambarkan lampu kuning, dan lampu hijau? Mungkinkah karena lampu merah lebih menarik perhatian pengendara. Menarik perhatian karena larangan yang dilontarkan oleh warna lampu ini. Jika dilanggar, maka kecelakaan terjadilah.
Tetapi kita jangan menghabiskan waktu membahas ini. lebih baik bercerita ada apa sebenarnya di lampu lalulintas yang galibnya disebut lampu merah itu?
Penulis memperkirakan lamanya lampu merah hingga nantinya berganti lampu hijau itu membutuhkan waktu antara 1-2 menit. Dalam waktu itu, semua pengendara akan berhenti. Pada saat berhenti, semua pengendara jarang atau tidak pernah saling berkomunikasi satu sama lain. Kecuali, pada saat itu disengaja atau tidak disengaja bersama atau bertemu teman/kenalan. Selebihnya ada yang sempat memainkan telpon genggam, mendengarkan music lewat alat pendengar music (earphone).
Setelah lampu lalulintas berpindah warna ke lampu hijau, semua pengendara meneruskan perjalanan dan melaju kencang. Yang tadinya memainkan telepon genggam segera menyimpan telepon genggamnya. Yang tadinya berbincang dengan temannya terpaksa menghentikan pembicaraan dan melanjutkan perjalanan mereka, masing-masing. Namun semua meninggalkan cerita yang harusnya mereka tau ada di lampu merah itu.
Cerita yang Harus Diperhatikan
Apa cerita itu? Anak-anak remaja (usia 6-10 tahun) di situ sampai jam 11 malam menjual Koran. Sering penulis lihat para remaja ini di lampu merah dekat kantor gubernur, atau dekat kantor bank Indonesia, atau dekat transmart.
Penulis sering membeli bubur kacang hijau di dekat lampu merah itu. Penulis tidak pernah alpa bertemu dengan salah seorang dari mereka. Kala itu bertepatan dengan pentas seni teater "tungku haram 3" di halaman kantor DPRD NTT. Seorang anak perempuan remaja memeluk erat koran jualannya agar koran tidak jatuh. Dia menghampiri saya dan memohon dengan nada lesu "kaka, beli Koran do kaka...". Waktu saat itu menunjukan jam 9 malam.
Saya membeli satu Koran darinya. Saya bertanya banyak hal tentang kehidupan sehari-harinya. Dia memiliki ayah dan ibu. Pekerjaan ayah dan ibunya sebagai pemulung sampah.
Dia sekarang masih bersekolah kelas 3 SD. Uang hasil jualan Koran digunakan untuk keperluan sekolah. Dia juga mempunyai 4 saudara kandung yang juga sama-sama menjual Koran. Banyak teman seumurannya menjual Koran. Sehingga, perjalanan pulang dan pergi menjual Koran, tidak terasa sepi karena bermain dengan teman-teman.
Perbincangan kami pun berakhir. Dia pergi melanjutkan pekerjaannya. Saya pun pergi menyaksikan pentas teater "tungku haram 3" itu. Ternyata kegiatan ini mengangkat tema tentang stop human trafficking (hentikan perdagangan orang).